HUSNUL KHOTIMAH SANG KIYAI
Oleh: Salim Taib
Redaktur Eksekutif RadarTimur.id
Pukul 20.50 WIT, setelah selesai melaksanakan shalat Isya dan Tarawih, Saya kemudian memulai open handphone, tiba-tiba berdiring tak pernah berhenti. Berbagai platform sosial media whatsup, maupun facebook, tersebar kabar berantai serentak muncul dari berbagai latar belakang. Baik yang mengenal secara dekat maupun tidak terlalu mengenal sosok Sang Kiyai, mereka mengabarkan duka yang mendalam.
Begitu banyaknya ucapan duka dan belasungkawa atas kepergian KH. Abdul Ghani Kasuba mantan Gubernur Provinsi Maluku Utara dua perode itu menuju alam keabadian.
Sontak, Saya pun bergegas pergi melayat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Chasan Boesoirie Maluku Utara tempat Sang Kiyai di rawat dalam kurun waktu hampir sebulan yang dijaga ketat oleh lembaga tiga huruf (Kaf, fa, kaf), yang tidak memiliki empati kemanusian. Hukum benar-benar tercerabut dari akar kemanusiaan, Sang Kiyai pun dibiarkan jasad Adamnya lemah bertamba lemah.
Kepergianmu Sang Kiyai, Jumat, 14 Maret 2025 Pukul 19.30 bertepatan dengan malam kelima belas, atau malam kunut atas puasa yang kita jalani. Dalam duka kepergianmu Sang Kiyai saya teringat sebuah syair “Ketika ibu melahirkanmu, wahai anak cucu Adam, engkau menangis, sedang orang-orang disekitarmu menyambutmu dengan riang gembira. Maka bekerjalah sungguh-sungguh untukmu sendiri ketika engkau tak lagi bersama mereka selamanya. Mereka menangis tersedu-sedu, sedang engkau pulang sendiri dengan senyuman menawan”.
Sang Kiyai jalan takdir kepulanganmu pada alam keabadian terjadi pada malam dan bulan kemuliaan, bulan yang diturunkannya Al-Qur’an, bulan yang didalamnya terdapat Lailatul Qadar. Pada malam itu seluruh malaikat menyapa manusia di bumi engkau pulang dengan Husnul Khatimah. Sedangkan kami menatap dengan tangisan engkau pergi pulang dengan senyuman, semua makhluk ciptaan Sang Khalik pasti bergerak mendekati dan akan mengetuk pintu takdir kematian. Kematian adalah kepastian dan kepastian itu bernama kematian, sang Kiyai engkau telah mengabdikan, mawakafkan diri pada jalan panjang dilorong kesunyian membina ummat, mencerahkan ummat. Jalan sunyi dakwah yang engkau lakoni, menyalin lewat lisanmu dengan khasanah, berdakwah dengan materi-materi penuh kesejukan tidak menebar kebencian.
Eengkau sang Kiyai selalu mengakamanyekan dalam dakwah, subtansi-subtansi Qur’an yang dibubuhi dengan sejarah peradaban Islam, dan begitu sejuk tutur katamu. Tentu semua ini dilakoni berpuluh-puluh tahun dalam kesabaran dan keihlasan.
Semua sudut desa disinggahi. Jika panggilan dakwah, Sang Kiyai akan mengarungi lautan, meski penuh badai dan gelombang dengan jarak tempuh yang begitu panjang dia tetal hadiri.
Tugas mulia sebagai pendakwah menjadi modal sosial sang kiyai mengikuti arus tarung politik, mungkin dalam arus tarung politik ada sprit tersebunyi dari sang kiyai untuk lebih luas mengangkat harkat kehidupan ummat pada satu taraf kehidupan yang layak. Sang Kiyai pun diamanhkan menjadi Gubernur Provinsi Maluku Utara dua periode, tentu banyak hal kebaikan yang sang kiyai telah eksekusi melalu tangan kuasamu.
Dalam sejarah kuasamu ratusa intelektual kampus meraih gelar doktor, ratusan orang juga meraih gelar magister, ribuan orang meraih gelar sarjana itu semua catatan “biyadikal khair” (kebajikan yang Terbaik). Puluhan orang menjadi manusia melalui kuasa yang engkau genggam dalam tanganmu, engkau layani setiap jama’ah haji dengan pelayanan yang sungguh berat. Kesaksian banyak jama’ah haji yang pulang dari tanah suci bercerita sosok sang kiyai, tentu ini juga masuk dalam catatan “biyadikal khair”.
Kepergian sang Kiyai pada malam kunut di bulan yang mulia sebagai tanda atau penanda yang saya juga tak mampu memberi tafsir atas kehendak Allah. Namun banyak ulama memberi catatan jika seorang hamba yang dipanggil pada bulan kemuliaan, Bulan Ramadhan, maka dapat dikategorisasi sebagai hamba-hamba yang dipanggil oleh Allah dengan perkataan “Irji’I ilaa Rabbika Radhiatam Mardhia, Fadkhuli Fi’ibadi, Fadhkhuli Jannati” datanglah kepada-Ku wahai jiwa yang tenang, masuklah sebagai hamba-hambaku, masuklah dalam syurga-Ku.
Sang Kiyai mungkin berucap dalam alam keabadian “Ilahi ‘ashbahtu fii dzariraghaib ‘andhuru ilaal’ajaa’ib” oh, Tuhanku, aku kini telah berada di rumah idaman. Aku melihat betapa banyak keindahan yang mengagumkan. Sedangkan kami masih meratapi “kafaa bilmauti waa’idhaan” cukuplah kematian menjadi pintu perenungan, dan berandai andai mungkinkah sama seperti sang kiyai yang kembali pulang di kampung halaman keabadian “Innalillahi Wainna Ilaihi Raaji’un” sesungguhnya kami datang dari Allah dan kembali pulang pada-Nya terjadi pada bulan kemuliaan?
Engkau hamba yang dipanggil oleh Allah dengan ridha-Nya, sedangkan kami masih menanti gilaran panggilan-Mu dengan dora bololo sebagai pengingat “ajali fotuda tuda sone fo waro ua” Ajal itu terus mengikuti kita kemanapun kita melangkah, sedangkan kematian tidak diketahui.
Tinggalkan Balasan