radartimur.id

Dari Informasi ke Transformasi

Sabtu, 28 Juni 2025

MALAPARKAN DIRI

Oleh : Salim Taib

Ketua Yayayasan Pendidikan Nahdiyatul Mulk Maluku Utara

Puasa secara Theologis memiliki landasan perintah yang diturunkan Allah dari satu tempat yang tertinggi dimana pada wahyu Qur’an yang menjadi bassis perintah-Nya tertuang dalam surat Al-baqarah ayat 183 dimulai dengan Tuhan mengajak dengan panggilan wahai orang-orang yang beriman. Jadi siapapun orang-orang yang beriman yang menegasikan Tuhan lain dan mengakui adanya Tuhan Yang Esa, maka dia juga dikategorisasi sebagai orang-orang yang beriman. Pada narasi tersebut orang yang beriman pada masa lampau sebelum Islam sebagai agama Samawi disebarluaskan melalui utusannya Muhammad SAW, mereka juga diwajibkan puasa.

Prof. Dr. Quaraih Shihab dalam Tafsir al-Misbah (400:2006) menjelaskan surah Al-baqarah ayat 183 dengan mentafsirkan kata “diwajibkan atas kamu” redaksi tersebut menurut M. Quraish Shihab tidak menunjuk siapa pelaku yang mewajibkan puasa agaknya untuk mengisyaratkan bahwa apa yang diwajibkan itu sedimikian penting dan bermanfaat bagi setap orang. Pada konteks ini kewajiban puasa menjadi penting tanpa ada seruan atau perintah oleh siapapun akan sangat berguna dan bermanfaat untuk kepentingan tubuh manusia, oleh karena itu pada dunia medis dan kedokteran ketika melakukan pembedahan pasien akan diperintahkan dokter untuk menjalani puasa.

Puasa di Bulan Ramadhan yang menjadi kewajiban seperti tertuang dalam surah Al-Baqarah yang juga ditafsir oleh para ulama dimulai dengan mendefenisikan Puasa adalah mengendalikan diri dari makan, minum serta kebutuhan seksualitas dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari memiliki makna yang sangat mendalam. Kewajiban mengendalikan ketiga hal tersebut mengandung pembelajaran berharga ketika direnungkan dengan era modernisasi.

Dekade kini perilaku manusia moderen mengalami perubahan seiring dengan keberadaan manusia berada pada tilikungan kapitalisme global, manusia era moderen begitu mengangungkan kapitalisme hingga menyeret manusia berada pada yang oleh Dante menyebutkan manusia telah berada pada alam kesengsaraan atau alam neraka karena manusia telah terperosok atas pengagungan materialisme/kapitalisme.

Ajaran filsafat Materiasliame oleh Karl Marx menegasikan alam spritualitas sebagai bassis keberadaan manusia. Manusia dengan segala kebutuhan hidupnya digiring menjadi bernilai jika memiliki materi atau kebendaan, seberapa banyak manusia memiliki capital disitulah manusia dinilai bernilai, takaran veliu atau nilai akan menjadi tinggi. Banyak literatur dan riset memberi penjelasan akibat pengangunan paham Materiasme yang mendominasi kehidupan manusia moderen saat ini kecenderungan manusia konsumtif, polah kehidupan yang konsumtif saat ini telah mendistorsi wajah manusia sebagai karya Tuhan yang amat indah dan sempurna menjadi ring pertarungan kebinatangan.

Manusia sebagai karya Tuhan yang indah dan sangat sempurna dari seluruh penciptaan semesta alam dengan seluruh isinya dilakoni dengan wajah-wajah ganas, manusia saling menebas, senjata dengan berbagai peluruh yang mematikan menjadi tontonan tanpa perikemanusiaan. Semua itu terjadi karena manusia tidak lagi menganggap manusia lainnya berada dalam satu kepentingan yang sama.

Menakar manusia moderen saat ini telah mengalami pergeseran nilai dari spritualitas komunal menjadi materialism individual dengan mengukur “Kekenyangan” kepunyaan materi yang sifatnya bendawi maka akan semakin meningkatnya kerakusan, ketika kerakusan telah menjadi model dan pola hidup manusia di bumi maka saling memangsa sesama manusia pasti terjadi.

Al-Hujwiri seorang Sufi ilmuan Tasawuf dalam kitab “Kasyful Mahjub Buku Daras Tasawuf Tertua” (2015:307) menjeleskan bahwa puasa yang dengan segala syarat syar’inya tidak hanya sekedar diartikan tidak makan dan minum pada siang hari namun lebih dari itu sebuah proses melaparkan diri. Dengan lapar kita mempertajam kecerdasan dan meningkatkan pikiran dan kesehatan, Nabi Muhammad SAW, bersabda : “Buatlah perut-perutmu lapar dan hati-hati haus dan badan-badanmu telanjang, mudah-mudahan kalian dapat melihat Allah di dunia ini” melaparkan diri yang sebenarnya hakikat dari puasa itu sendiri.

Oleh Al-Hujwiri menjelaskan meskipan lapar adalah penderitaan bagi badan, ia menyinari hati dan membersihkan jiwa dan mengantarkan ruh kepada Tuhan, makan sekenyang-kenyangnya adalah satu perbuatan layaknya bagi seekor binatang. Orang yang membina alam rohani dengan menahan perutnya dari kekenyangan yang berlebihan dengan diorientasikan sepenuhnya demi pengabdian pada Tuhan-nya dan melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi, derajatnya akan berbeda dan tidak sama dengan orang yang membina badannya dengan cara makan sekenyang-kenyangnya.

Melaparkan diri sebulan tidak berarti, tidak makan makanan sebulan lamanya karena jika puasa diorientasikan pada penghindaran makan sebulan pada siang hari dan dendam makan pada malam hari, atau hanya sebatas pemindahan jadwal makan di siang hari digantikan makan sekenyang-kenyangnya pada malam hari maka oleh Nabi mengatakan mereka hanya mendapatkan lapar dan haus, orang zaman dulu makan untuk hidup, kecenderungan saat ini hidup untuk makan oleh al-Hujriwi kelebihan makan dan secuil makanan Adam jatuh dari syurga dan dibuang jauh dari kedekatan kepada Allah kea lam dunia.

Membaca tafsiran Al-Hujriwi yang menjelaskan lebih lanjut dalam kitab Kasyf Al-Mahjub tentang melaparkan diri sebagai esensi dari puasa yang kita jalani adalah upaya memasung mengendalikan sifat-sifat keserakahan. Faedah lapar itu milik orang yang berpantang bukan orang yang dicegah dari makan, menurut sebagian ulama dalam kitab Al-Hujriwi melaparkan (faqa) melibatkan yang namanya keberpantangan. Artinya indra-indra alamiah dimanjakan dengan makanan, bertambah kuatlah jiwa rendah, melaparkan diri merupakan kontemplasi tertinggi tentang Tuhan (Musyahadat), karena musyahadat adalah medan perang manusia disinilah relevansinya ketika kembali pulang membawa kemenangan dalam peperangan badar, peperangan yang paling besar dalam sejarah oleh nabi dan para shahabatnya. Seorang sahahabat bertanya wahai Ya Rasul apakah setelah peperangan Badar ini masih ada lagi peperangan besar? Nabi mengatakan perang badar adalah peperangan kecil, perang paling besar adalah peperangan melawan hawa nafsu, melaparkan diri adalah upaya pencegahan dari keserakahan. Sebab keserakahan hanya membawa ketidakpuasan apa yang dimiliki sehingga boleh jadi yang kaya akan semakin mengkayahkan dirinya, yang miskin akan semakin dimiskinkan. Perilaku korupsi hanyalah bagian dari mempertontonkan keserakahan, dan ketidakpuasan. Melaparkan diri adalah solutif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini