radartimur.id

Dari Informasi ke Transformasi

Sabtu, 28 Juni 2025

TAU DIRI KEKUASAAN 

Oleh : Salim Taib

Ketua Yayasan Pendidikan Nahdiyatul Mulk/Redaktur Eksekutif RadarTimur.id

Ungkapan terdengar sering dilontarkan oleh banyak orang di masyarakat lokal hususnya zajiratulmulk ketika terjadi kesalahan perilaku atas kebenaran yang terabaikan atau juga penghianatan pertemanan, kealpaan perjanjian, yang menuai singgung dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kealpaan yang dilakukan sehingga memunculkan kalimat “Tidak Tau Diri”.

Kalimat itu menegaskan ketidak mampuan seseorang memelihara apa yang menjadi kebiasaan baik, perilaku yang mendistorsi kebajikan dan abai terhadap pemeliharaan etika bersama. Di samping hal tersebut kalimat “tidak tau diri” sebuah ucapan juga merobek-robek emosi seseorang yang menegasikan kemurnian eksistensial, atau sebuah kebalikan dari kalimat tau diri.

Tau diri meng-asosiasikan kefahaman akan eksistensial dan sebenarnya telah menjadi filsafat keberadaan, yang jika direnungi ucapan filsuf Prancis Rene Descartes“Cogito Ergo Sum ”saya berfikir maka saya ada”, pada konteks ini kalimat tau diri atau kebalikannya tidak tau diri sama-sama merekonstruksi nalar kesejatian eksistensial personal sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang telah dikarantina seluruh potensi kebaikan yang dimilikinya, atau kita lupa menavigasi potensi awal sebagai mahluk manusia yang terberi oleh Tuhan.

Lupa menavigasi akan potensi kebaikan dalam diri personal hingga menjurumuskan eksistensi oleh Dante menyebut kita berada di alam inverno, alam kekacauan, alam kesengsaraan, alam kegelapan atau alam neraka, sehingga kalimat tau diri menjadi sebuah bentuk ikhtiar, agar kehidupan bergerak berdasakan kehendak alamiah.

Tau diri kekuasaan adalah sebuah narasi dalam bentuk ikhtiar agar pengelolaan kekuasaan berdasarkan apa yang disebut oleh filsuf era Yunani Kuno Aristoteles bahwa kekuasaan diperuntukkan untuk kebaikan bersama tetap terjaga, menjaga kekuasaan agar tetap berada pada defenisi kebajikan para filsul tersebut. Kondisi itu harus dilakukan oleh para ilmuan, para pemikir, para orang-orang yang baik, bijak bistari, karena sering kali genggaman kekuasaan yang telah di raih disalahgunakan atau dalam peristilahan “Abuse Of Power” (tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan jabatan apapun untuk kepentingan tertentu dan dapat diakibatkan kerugian bagi orang lain).

Sebuah realitas yang telah terjadi dimana-mana bahwa Abuse Of Power adalah tindakan kekuasaan yang lupa diri, tindakan kekuasaan diluar kehendak bersama untuk kebaikan bersama. Bertrand Russell, seorang filsuf Inggris terkenal yang lahir tahun 1872, (1988:3. Mengatakan bahwa “manusia memiliki hasrat dan keinginan yang tidak terhingga yakni hasrat untuk meraih kekuasaan”. Naluri dan hasrat melekat sebagai anugrah eksistensial personal harus diarahkan agar tetap berada pada dimensi kelurusan kekuasaan, karena kehidupan manusia dengan beragam keinginan mempertahankan kehidupannya membutuhkan kekuasaan, benar. Pada konteks ini kata Tomas Hobbes, untuk mencapai tujuan semua itu manusia memerlukan kekuasaan. Oleh karena itu semua manusia mempunyai keinginan abadi dan tanpa batas akan kekuasaan yang hanya berhenti dalam kematian. Perjuangan yang terus menerus tidak selalu disebabkan oleh kenyataan bahwa manusia mengharapkan kesenangan yang lebih besar dari pada yang telah diraihnya, atau manusia tidak merasa puas dengan kekuasaan yang sedang-sedang saja.

Hasrat dan keinginan setiap manusia untuk berkuasa ini dapat menjadi ancaman terhadap kecenderungan untuk hidup bermasyarakat secara aman dan damai, dengan kata lain bila keinginan dan hasrat manusia untuk berkuasa itu bergerak menurut logikanya sendiri, maka hal itu akan menyimpan latenitas sebagai sumber konflik, aalagi pada masyarakat yang plural. Keadaan masyarakat yang aman dan damai menjadi dambaan semua orang senantiasa berada dalam ancaman, karena keinginan manusia untuk berkuasa atas yang berarti menyiratkan akan memunculkan pertentangan kepentingan yang begitu banyak antar sesama manusia walau dalam satu barisan yang sama, semua ini akan berakhir atau setidaknya dapat dikendalikan dengan kekuasaan yang diakui bersama.

Seiring dengan perkembangan ummat manusia, kekuasaan yang diakui bersama atau kekuasaan yang diraih dengan benar secara konstitusional yang keberadaan maujudnya dalam bentuk Negara oleh Majid Khadduri menyebutnya bahwa masyarakat sebenarnya tidak dapat bertahan tanpa kekuasaan. Kekuasaan memiliki kemampuan memaksa, kemampuan memerintah kepada masyarakatnya, kemampuan mempengaruhi tingkah laku rakyatnya baik dalam bentuk personal maupun komunal itulah kekuatan the power. Kekuatan kekuasaan dapat menerobos masuk untuk mengatur serta mengelolah seluruh demensi potensi sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia dikelola sepenuhnya dan sebesar-besarnya kemakmuran rakytanya.

Konsensus bersama atas pemberian kekuasaan kepada Negara dengan kekuasaan yang melekat didalmnya berarti memiliki kemampuan, kekuatan, dan kewenangan untuk mempengaruhi bahkan memaksa warga Negara untuk patuh. Kekuasaan yang melekat pada Negara itu selanjutnya dijalankan oleh pemerintah adalah sesuatu yang tidak bisa terelakkan, karena setiap manusia baik langsung maupun tidak langsung, suka ataupun tidak suka, sedikit banyak akan bersentuhan dengan Negara dan pemerintah apalagi kita telah bersepakat Negara Indonesia memilih model Negara kesejahteraan (welfare state) dengan karakteristik utama intervensi pemerintah dalam kehidupan warganya.

Delegation of power oleh kekuasaan Negara kepada pemerintah secara hirarki yang berada di bawanya, dalam hal ini pemerintah tingkat provinsi maupun pemerintah tingkat kabupaten dan kota, yang didahului dengan pemberian kewenangan kekuasaan melalui pemilihan kepala daerah sesuai dengan perundang-undangan yang menjadi rule of law telah kita lewati dengan jalan damai. Kedamaiaan warga dan pilihan walfare state harus diwujudkan dengan meletakkan filofosi Tau Diri Kekuasaan. Dimana kedaulatan rakyat yang telah diberikan dalam raihan kekuasaan itu, sejatinya dikelolah dengan memahami problem serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bukan mendahului kebutuhan-kebutuhan sang penguasa.

Tau diri Kekuasaan adalah sebuah jalan ikhtiar mengembalikan pengelolaan kekuasaan pada ranah bahwa sesungguhnya hakekat kekuasaan itu mengelolah dua hal yang menjadi subtansi yakni; kekuasaan mengelolah sumber daya manusia dan kekuasaan mengelolah sumber daya alam atau finansial resauce yang diperuntukan demi kesejahteraan masyarakat. Tugas dan fungsi kekuasaan yang harus diketahui sebagai wujud tau diri kekuasaan, jika kekuasaan dalam pengelolaannya keluar dari hakekat kekuasaan maka sejatinya anda yang berkuasa, memegang kewenangan mengelolah semua potensi tersebut telah keluar dan anda yang berkuasa akan disebut dengan tidak tau diri kekuasaan.

Kekuasaan memiliki daya pikat, turut mempengaruhi perilaku para penguasa the abuse of power adalah salah satu dari sekian banyaknya bentuk –bentuk penyimpangan kekuasaan. Untuk mengetahui keaslian sifat dan karakter seseorang berilah dia kekuasaan. Banyaknya kewenangan yang diberikan kepada seseorang dalam kekuasaannya bisa juga memberikan dampak negatif dalam tindakannya dengan berperilaku dzalim dan adanya ketidakadilan kepada warganya sendiri. Rakyat tidak merasakan hasil buah karya yang berarti dalam menjalankan kekusaan, karena itu hindari tirani kekuasaan.

Sejatinya kekuasaan harus dikelola secara bersama-sama. Bukan personal garansi yang dipertontonkan karena anda yang memegang kekusaan hanya dititipkan warga dengan limit waktu lima tahunan. Jadi mari renungkan bagi siapapun penguasa di negeri ini untuk “TAU DIRI KEKUSAAN”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini