Loloda di Persimpangan Jalan
Muhammad Rizal
Pemerhati Kebijakan Publik
Di ujung utara Pulau Halmahera, di hamparan biru yang berbatasan langsung dengan Laut Pasifik, terbentang sebuah wilayah yang kaya namun tersisih dari peta prioritas pembangunan nasional. Wilayah itu bernama Loloda.
Secara administratif, Loloda berada di wilayah Provinsi Maluku Utara, terbagi dalam dua kabupaten: Kabupaten Halmahera Utara dengan 2 wilayah administrasi kecamatan yakni Kecamatan Loloda Utara dan Kecamatan Loloda Kepulauan serta Kabupaten Halmahera Barat dengan Kecamatan Loloda dan Loloda Tengah. Namun, secara realitas, ia seperti tidak sepenuhnya dimiliki oleh siapa pun. Sering diabaikan dalam keputusan anggaran, dilupakan dalam distribusi program dan dibiarkan menggantung di simpang jalan sejarah.

Jalan utama yang menghubungkan desa-desa di Loloda sebagian besar masih berupa jalan tanah yang rawan putus dan becek kala hujan turun. Beberapa ruas jalan hanya bisa dilalui kendaraan roda dua, itu pun dengan susah payah. Ketika darat menjadi tidak mungkin ditempuh, laut menjadi pilihan. Namun laut bukan tanpa risiko. Cuaca di wilayah ini kerap berubah mendadak. Banyak warga yang bertaruh nyawa demi mengakses kebutuhan dasar: pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Jembatan yang menjadi penghubung antarwilayah kondisinya tak kalah mengenaskan. Banyak yang dibangun seadanya oleh swadaya masyarakat, menggunakan material kayu dan bahan bekas. Tak jarang warga terpaksa memutar jauh atau bahkan menyeberang sungai karena jembatan rusak tidak kunjung diperbaiki.
Dalam bidang kesehatan, cerita pilu datang dari berbagai desa. Tak sedikit ibu hamil terpaksa ditangani secara darurat oleh bidan desa dengan alat seadanya. Kondisi itu dikarenakan untuk sampai ke Puskesman terdekat harus melewati jalan rusak dan jembatan yang tidak memadai.
Pendidikan pun mengalami nasib serupa. Guru terbatas, fasilitas rusak, dan akses ke sekolah menengah sangat terbatas. Banyak anak muda terpaksa merantau keluar kampung hanya untuk melanjutkan sekolah.
Padahal, Tuhan tak pelit menghadiahi Loloda dengan potensi yang luar biasa. Tanahnya subur, cocok ditanami hortikultura seperti sayur-sayuran, umbi-umbian, dan buah-buahan tropis. Kelapa, pala dan cengkeh tumbuh melimpah, menjadi komoditas unggulan yang hanya menunggu sentuhan infrastruktur dan akses pasar.
Di lautnya, hasil tangkapan ikan begitu melimpah. Perairan Loloda bahkan menjadi lokasi favorit kapal-kapal penangkap ikan dari luar Maluku Utara, seperti dari Sulawesi Utara dan Jawa. Namun ironisnya, nelayan lokal tak disentuh dengan menyediakan alat tangkap memadai. Mereka hanya mampu menggunakan perahu kecil dan alat sederhana. Mereka kalah bersaing di laut sendiri sehingga hasil tangkapan belum cukup menjanjikan nilai ekonomis yang mengangkat kesejahteraan.
Tak cukup di darat dan laut, kekayaan Loloda juga terkandung di dalam perut buminya. Pasir besi, emas, mangan dan bahan tambang lain telah lama teridentifikasi. Beberapa konsesi bahkan sudah dikelola oleh perusahaan profesional. Namun, pertanyaan besarnya tetap sama: sejauh mana hasil tambang itu benar-benar membawa manfaat bagi masyarakat lokal? Apakah mereka hanya menjadi penonton dari pertunjukan eksploitasi atas tanah sendiri?
Secara historis, Loloda bukan wilayah tanpa akar. Ia adalah wilayah ulayat Kesultanan Loloda, salah satu kerajaan lokal yang eksis jauh sebelum republik ini lahir. Wilayah ini bukan entitas administratif baru yang dicomot dari peta, melainkan bagian dari sejarah panjang Nusantara.
Dalam buku yang ditulis oleh Djafar Ibrahim Kotadadi berjudul: “Loloda, Ngara Mabeno yang Terlupakan”, memuat seputar sejarah moyang mereka di sebuah wilayah utara Pulau Halmahera yang sangat dihormati. Horukie, puteri yang sangat berpengaruh pada Kesultanan Ternate dan Robodoi sang penguasa laut.
Pada abad ke-19, kala Belanda menjalankan misinya untuk menguasi wilayah Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo. pasukan dari Robodoi, dianggap sebagai penggangu. Kapal-kapal VOC dihalau ketika memasuki perairan yang dikuasainya. Bahkan atas aksi-aksinya dalam Encyclopaedy van Nederland Indie 1918, Loloda dikenal dan kemudian disebut sebagai “Gerbang Maluku” dengan julukan: Ngara Mabeno atau penjaga pintu.
Alasan lain kenapa wilayah ini juga harus diperhatikan? sebab ketika republik ini didirikan, kesultanan-kesultanan lokal turut menyumbangkan wilayah dan legitimasinya termasuk Loloda. Maka dengan itu mengabaikan Loloda terhadap pembangunan juga abai terhadap sejarah dan warisan bangsa.
Pemerintah pusat dan daerah tidak bisa lagi menimbang pembangunan hanya dari jumlah penduduk atau kemudahan akses dari ibu kota provinsi. Pembangunan tidak boleh berhenti di tempat yang ramai dan mudah dijangkau saja. Justru wilayah seperti Loloda, yang kaya akan sumber daya dan berada di posisi strategis secara geopolitik, harus menjadi prioritas.
Letaknya yang berbatasan dengan negara lain serta berada di bibir pasifik semestinya menjadi perhatian dalam konteks pertahanan dan kedaulatan. Di tengah narasi besar tentang poros maritim dunia, wilayah seperti Loloda harusnya menjadi simpul penting. Namun sejauh ini, narasi hanya tinggal di mimbar pidato. Di lapangan, warga Loloda masih berjalan di atas jalan rusak dan menatap masa depan dengan cemas.
Kini, satu pertanyaan besar mengemuka: apakah Loloda akan terus berada di persimpangan jalan antara Halmahera Utara dan Halmahera Barat—dua kabupaten yang sama-sama tidak sungguh-sungguh mengurusnya? Ataukah ia harus berdiri sendiri sebagai kabupaten baru, agar bisa menata masa depan dengan kendali sendiri?
Ini bukan sekadar soal pemekaran wilayah. Ini soal eksistensi. Soal keadilan. Soal hak warga negara. Jika perhatian yang adil tak bisa diberikan dalam struktur yang ada, maka memperjuangkan otonomi adalah pilihan yang masuk akal. Tapi sebelum sampai ke sana, negara harus menjawab dulu: apakah benar-benar ada keinginan untuk membangun dari pinggiran, atau semua itu hanya jargon kosong?
Loloda tidak meminta untuk dimanja. Ia hanya ingin diberi kesempatan yang setara. Karena di tanah yang subur dan laut yang kaya itu, hidup warga yang punya harapan. Dan harapan itu tak boleh terus menunggu di persimpangan.
Tinggalkan Balasan