DOB Kota Bacan, Janji yang Harus Ditepati
Oleh:
Muhammad Rizal
Pemerhati Kebijakan Publik
Ketika suara pemekaran daerah kembali menguat dari ujung timur Indonesia, sebagian orang di pusat kekuasaan mungkin akan menyambutnya dengan kening berkerut. Di Jakarta, kata “DOB” sudah telanjur dibebani stigma, pemborosan anggaran, pelemahan kapasitas birokrasi, dan agenda elite lokal semata.
Namun, tidak semua desakan lahir dari kepentingan sesaat. Tidak semua tuntutan berasal dari hasrat politikus untuk menciptakan ‘kerajaan-kerajaan kecil’. Beberapa di antaranya justru mencerminkan kebutuhan struktural yang mendesak, aspirasi jangka panjang yang rasional, dan kehendak rakyat yang lahir dari pengalaman panjang keterpinggirkan. Derah Otonomi Baru (DOB) Kota Bacan adalah salah satunya.
Sudah lebih dari dua dekade Bacan berfungsi sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. Sejak dimekarkan dari Kabupaten Halmahera pada tahun 2003, wilayah ini berkembang cepat sebagai pusat administrasi, ekonomi, dan pendidikan. Namun, dalam struktur pemerintahan yang ada, Bacan belum menjadi entitas yang berdaulat. Ia hanya menjadi episentrum yang menopang pemerintahan kabupaten dengan beban yang semakin tak sebanding dengan kewenangan yang dimilikinya. Hal inilah yang memunculkan desakan agar Bacan ditetapkan sebagai kota otonom.
Secara geografis, Bacan memang menempati posisi sentral di gugusan selatan Pulau Halmahera. Akses laut, pelabuhan, bandara perintis, hingga jaringan jalan penghubung antar kecamatan memperkuat posisinya sebagai simpul wilayah. Secara demografis, penduduknya cukup padat, tersebar dalam kecamatan yang dinamis, dengan pertumbuhan ekonomi berbasis jasa, perdagangan, perikanan, dan sektor publik. Sebagian besar urusan administrasi warga Halmahera Selatan memang bermuara di Bacan namun, tanpa diimbangi dengan pelayanan publik yang berjalan lebih cepat dan efisien.
Lebih dari itu, Bacan bukan hanya pusat administratif, tapi juga memiliki legitimasi historis yang kuat. Pada masa lalu, Bacan adalah pusat dari Kesultanan Bacan. Salah satu dari empat kesultanan besar di Maluku selain Ternate, Tidore, dan Jailolo. Sebagai kerajaan maritim, Kesultanan Bacan menjalin hubungan diplomatik dengan bangsa asing sejak abad ke-16. Bahkan, dalam catatan Portugis dan Belanda, Bacan disebut sebagai wilayah penting dalam jalur rempah-rempah, dengan pelabuhan aktif dan struktur kekuasaan yang modern pada zamannya. Warisan sejarah ini masih hidup dalam kesadaran masyarakat lokal.
Bacan bukan hanya sekadar nama pulau atau kecamatan, tapi identitas kolektif yang telah lama bersama-sama secara sosial dan budaya dengan wilayah-wilayah lain di Halmahera Selatan. Pemekaran menjadi Kota Bacan bukanlah tindakan memisahkan diri secara emosional, melainkan upaya untuk mengukuhkan peran dan kapasitas yang selama ini juga dijalankan secara de facto.
Lantas, mengapa aspirasi pembentukan DOB Kota Bacan, belum masuk dalam pembahasan resmi di Komisi II DPR RI dengan Dirjen Otonomi Daerah (Otda) Kemendagri? Jawabannya adalah moratorium pemekaran daerah yang diberlakukan sejak tahun 2014. Pemerintah berdalih bahwa banyak DOB sebelumnya gagal mandiri secara fiskal, terlalu membebani anggaran, dan tidak membawa manfaat signifikan bagi kesejahteraan rakyat. Kekhawatiran itu tidak sepenuhnya keliru. Namun, memberlakukan moratorium secara menyeluruh dan tanpa pengecualian adalah kebijakan yang tidak adil, bahkan cenderung kontraproduktif.
Moratorium yang tidak membuka ruang evaluasi justru memperkuat sentralisme baru yang bertentangan dengan semangat otonomi daerah. Pemerintah seharusnya tidak menutup kran aspirasi, tetapi menyaringnya secara ketat dengan instrumen evaluasi berbasis data, transparansi, dan partisipasi publik. Dengan mekanisme yang tepat, aspirasi seperti pembentukan Kota Bacan dapat dinilai secara objektif. Apakah memenuhi syarat fiskal, kapasitas SDM, kesiapan infrastruktur, dan dukungan masyarakat luas?
Jika indikator tersebut diterapkan, Bacan termasuk dalam deretan DOB yang layak direalisasikan. Fasilitas pelayanan publik sudah relatif tersedia. Potensi PAD dari sektor perikanan, UMKM, dan perdagangan cukup menjanjikan. Lembaga pendidikan dan kesehatan telah tumbuh stabil. Di sisi lain, semangat dan partisipasi masyarakat sangat tinggi dibuktikan dengan konsistennya desakan sejak beberapa waktu terakhir, baik melalui tokoh adat, akademisi, maupun pemerintah daerah.
Argumen bahwa DOB menciptakan beban fiskal juga perlu dilihat dalam konteks paripurna. Untuk ukuran jangka pendek, memang akan ada peningkatan biaya karena pembentukan institusi pemerintahan baru. Namun dalam jangka panjang, kota otonom yang dikelola dengan baik akan memicu efisiensi layanan, mempercepat pembangunan, dan membuka ruang bagi kreativitas lokal. Dengan kewenangan yang lebih luwes, pemerintah Kota Bacan akan lebih mampu merancang program strategis sesuai kebutuhan riil masyarakatnya.
Lebih dari itu, pemekaran Bacan justru bisa membantu Halmahera Selatan sebagai kabupaten induk untuk fokus membangun wilayah-wilayah lain yang selama ini merasa terpinggirkan oleh dominasi Bacan. Dengan demikian, DOB Kota Bacan bukanlah bentuk pemisahan, melainkan solusi administratif untuk pemerataan pembangunan dan pelayanan.
Sudah saatnya pemerintah pusat mengubah pendekatan dalam menilai pemekaran. Daripada mempertahankan moratorium kaku, lebih bijak bila membuka ruang selektif bagi DOB yang telah memenuhi prasyarat objektif dan aspiratif. Kota Bacan adalah satu dari sedikit wilayah yang pantas diprioritaskan.
Ini bukan soal ambisi elite atau sekadar wacana pemilu. Ini adalah tentang janji republik bahwa setiap warga negara, di mana pun mereka tinggal, berhak mendapatkan layanan publik yang cepat, adil, dan setara. Kota Bacan menagih janji itu, bukan dengan amarah, tetapi dengan keyakinan dan kesabaran panjang. Dan negara, pada akhirnya, harus mendengarkan.
Tinggalkan Balasan