“Tarima Kasih Tidak Pisahkan Saya dari Maitua”, Kisah Cinta Sejati yang Bertahan hingga Padang Arafah
RadarTimur.id, Arafah — Di tengah lautan manusia berpakaian ihram yang bersiap menunaikan salah satu puncak ibadah haji di Padang Arafah, sepasang lansia tampak mencuri perhatian. Bukan karena tampilan mencolok atau suara yang menggema. Tapi justru karena diam-diam, mereka menyimpan kisah yang mampu menggetarkan hati siapa pun yang menyaksikan. Kisah tentang kesetiaan, kelembutan, dan kekuatan cinta sejati yang tak lekang oleh waktu.
Namanya Kakek Salim, seorang jemaah haji lansia asal Maluku Utara (Malut) dari Kloter 15 Embarkasi Ujung Pandang (UPG). Di sisinya, selalu ada Nenek Djahara, istrinya yang tunanetra. Kemana pun langkah Kakek Salim beranjak, tangan istrinya selalu tergenggam erat di sisinya. Tidak pernah lepas. Tidak pernah jauh.
Pagi itu, saat rombongan bersiap menuju Arafah, pasangan ini sempat panik. Mereka belum memegang kartu Nusuk, salah satu syarat administrasi penting untuk keberangkatan. Di tengah hiruk-pikuk ribuan jemaah, kebingungan jelas terlihat di wajah mereka. Namun, Ketua Kloter dengan sigap turun tangan. Aplikasi Nusuk diunduh, kartu dicetak daring, dan pasangan ini akhirnya bisa bergabung bersama rombongan tanpa hambatan.
Di balik rintangan teknis itu, terpatri sesuatu yang jauh lebih menyentuh, cinta yang tulus dan tak tergoyahkan. Saat daftar syarikah sempat menempatkan mereka dalam tenda berbeda, tim kloter berjuang keras agar pasangan lansia ini tetap berada dalam satu rombongan. Bukan sekadar permintaan administratif tapi ini adalah tentang menjaga dua hati yang tak pernah rela terpisah.
“Pak, terima kasih… so tara kase pisah saya deng maitua,” ucap Kakek Salim dengan nada haru yang dilansir dari malut.kemenag.go.id.
Dalam satu kalimat sederhana, tersimpan lautan kasih yang tak bisa diukur. Seorang lelaki tua yang hanya ingin satu hal, selalu berada di samping wanita yang telah menemaninya selama puluhan tahun, bahkan di tanah suci yang agung ini.
Cerita kebersamaan mereka telah dimulai bahkan sebelum Arafah. Di pemondokan, meskipun kamar mereka terpisah karena alasan teknis, Kakek Salim tidak pernah alpa mengunjungi istrinya.
Setiap waktu makan, ia datang membawa makanan, menyuapi perlahan-lahan, memastikan Nenek Djahara dalam keadaan nyaman sebelum dirinya kembali ke kamar. Semua dilakukan tanpa keluhan, tanpa sorotan, hanya didasari oleh cinta dan tanggung jawab.
Dan tibalah mereka di Arafah. Di bawah terik matahari yang menyengat, di hamparan tenda putih yang padat, pasangan ini tetap bergandengan. Saat makan siang, mereka saling menyuapi. Ketika azan berkumandang, mereka berdoa dalam bisikan. Tak ada keluhan, tak ada keributan. Hanya pelukan lembut, senyuman yang tulus, dan mata yang penuh keyakinan bahwa mereka berada dalam perjalanan spiritual paling suci, bersama-sama.
Kisah cinta Kakek Salim dan Nenek Djahara adalah sebuah pengingat yang menohok. Bahwa cinta tidak selalu hadir dalam bentuk puisi indah atau janji-janji besar. Tapi juga hadir dalam kesetiaan diam-diam, dalam genggaman tangan yang tak pernah lepas, dalam kesabaran menuntun langkah satu sama lain, meski dunia menguji dari segala arah.
Mereka mungkin bukan siapa-siapa di dunia ini. Tidak dikenal, tidak viral. Tapi di mata siapa pun yang menyaksikan, mereka adalah simbol cinta abadi.
Semoga ibadah haji, Kakek Salim dan Nenek Djahara diterima oleh Allah SWT sebagai haji yang mabrur dan mabrurah. Dan semoga cinta mereka tetap hidup, tak hanya di dunia ini, tapi kelak di surga-Nya—sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.(*)
Tinggalkan Balasan