Hilirisasi Nikel Merusak Potensi Wisata Raja Ampat
Oleh Sunaidin Ode Mulae
Dosen ilmu Antropologi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Khairun
Nama “Raja Ampat” berasal dari legenda lokal tentang empat raja yang memerintah kepulauan ini. Raja Ampat memiliki mitos di Masyarakat lokal Raja Ampat, yakni pada suatu hari terdapat seorang wanita menemukan tujuh telur, empat diantaranya berubah menjadi pangeran dan tiga sisanya menjadi seorang wanita, hantu, dan sebuah batu. Keempat pangeran berpisah lalu masing-masing berkuasa di Waigeo (Wawiyai), Salawati (Samate), Misool Barat (Waigama) dan Misool Timur (Lilinta).
Raja Ampat adalah sebuah kepulauan yang terletak di barat Semenanjung Kepala Burung, Pulau Papua, Indonesia. Kepulauan ini terdiri dari lebih dari 1.500 pulau kecil, dengan empat pulau utama, yaitu pulau utama ialah Misool salah satu pulau terbesar di Raja Ampat. Salawati, Pulau yang sebagian wilayahnya termasuk dalam Kabupaten Sorong. Batanta, Pulau yang terletak di antara Waigeo dan Salawati. Waigeo, Pulau terbesar di Raja Ampat. Raja Ampat dikenal karena keindahan alam bawah lautnya yang luar biasa, dengan lebih dari 600 jenis terumbu karang dan 1.700 jenis ikan karang. Kawasan ini dianggap sebagai pusat keanekaragaman hayati laut tropis terbesar di dunia.
Selain itu, Raja Ampat juga memiliki beberapa kerajaan Islam tradisional, seperti Kerajaan Waigeo berpusat di Weweyai, Pulau Waigeo. Kerajaan Salawati, berpusat di Samate, Pulau Salawati bagian utara. Kerajaan Misool, berpusat di Lilinta, Pulau Misool bagian timur. Kepulauan Raja Ampat memiliki sejarah yang kaya dengan bukti arkeologis menunjukkan bahwa manusia pertama kali mengunjungi kepulauan ini lebih dari 50.000 tahun yang lalu.
Pada saat ini Raja Ampat dikepung oligarki melalui perusahaan nikel yang memiliki nilai investasi nikel cukup signifikan dengan proyeksi investasi pertambangan di kawasan ini mampu menyerap lebih dari 5.000 tenaga kerja lokal secara langsung dan berkontribusi hingga Rp 2 triliun per tahun untuk pendapatan daerah.
Investasi nikel di Raja Ampat juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, seperti kerusakan Hutan dan Vegetasi lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi asli rusak akibat eksploitasi nikel. Pencemaran Air Laut, limbah tambang dapat menyebabkan kekeruhan dan sedimentasi di perairan pesisir, mengancam ekosistem laut.
Tambang nikel di Raja Ampat dikuasai lima oligarki besar melalui perusahaan Asing dan perusahaan “orang Jakarta”, berdasarakan laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yakni PT Gag Nikel, PT Anugerah Surya Pratama, PT Kawaei Sejahtera Mining, PT Mulia Raymond Perkasa, dan PT Nurham. Dari kelima Perusahaan di atas yang paling bersemangat menggeruk nikel dari perut bumi Raja Ampat ialah PT Gag Nikel dengan status kontrak karya (KK) selama dua puluh delapan tahun terdaftar di aplikasi mineral one data Indonesia (MODI) dengan nomor akte perizinan 430.K/30/DJB/2017 yang memiliki wilayah izin seluas 13.136 hektare (Ha). Saham PT Gag Nikel semula dimiliki perusahaan Asing dan nasional yakni perusahaan asing asal Australia bernama Asia Pacific Nickel (APN) Pty. Ltd dengan saham sebanyak 75%, lalu sisanya sebanyak 25% dimiliki oleh perusahaan nasional Bernama PT Aneka Tambang (Persero) Tbk atau Antam (ANTM), sejak 2008 PT Antam berhasil mengakuisisi seluruhnya sehingga kendali penuh PT Gag. PT Gag Nikel termasuk ke dalam 13 perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di kawasan hutan hingga berakhirnya izin atau perjanjian berdasarkan Keputusan Presiden nomor 41 tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan.
PT Anugerah Surya Pratama (ASP) adalah perusahaan pertambangan nikel yang beroperasi di di Pulau Manuran, Kabupaten Raja Ampat. Perusahaan ini memiliki status penanaman modal asing (PMA) dan merupakan anak usaha dari PT Wanxiang Nickel Indonesia, yang terafiliasi dengan grup tambang asal China, Vansun Group. Kemudian, PT Kawei Sejahtera Mining (KSM) merupakan perusahaan pertambangan bijih nikel yang didirikan pada Agustus 2023. Perusahaan ini memiliki izin usaha pertambangan (IUP) berdasarkan Keputusan Bupati Raja Ampat Nomor 210 Tahun 2013 tentang Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Kepada PT Kawei Sejahtera Mining. IUP itu diberikan pada 30 Desember 2013 berlaku hingga 20 tahun dengan luas yang diizinkan 5.922 Ha. Berdasarkan catatan KLH, KSM memiliki Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) dan telah melaksanakan kegiatan pembukaan lahan pada 2023 dan operasional penambangan bijih nikel pada 2024. Selanjutnya, PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) memiliki IUP dengan luas konsesi sekitar 2.194 Ha yang mencakup Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele di Distrik Waigeo Barat Kepulauan. KLH mencatat MRP tidak memiliki PPKH. Perusahaan memulai kegiatan eksplorasi pada 9 Mei 2025 di area Pulau Batang Pele Kabupaten Raja Ampat dengan membuat sejumlah 10 mesin bor coring untuk pengambilan sampel coring. Pada saat verifikasi ditemukan area camp pekerja eksplorasi di area MRP.
Terakhir, PT Nurham adalah perusahaan pertambangan nikel yang tercatat beroperasi di Kabupaten Raja Ampat. Hanya saja sampai saat ini tidak terdapat informasi publik yang menyatakan bahwa PT Nurham aktif memproduksi nikel. PT Nurham terdaftar dalam sistem pengadaan elektronik Pemerintah Provinsi Papua, namun detail mengenai jumlah paket yang dimenangkan atau nilai kontrak tidak tersedia secara publik.
Menurut United States Geological Survey (USGS), cadangan nikel Indonesia adalah nomor satu dunia, Dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni) kemudian juga Berdasarkan data dari Kementerian ESDM tahun 2020, ketahanan cadangan nikel di Indonesia mencapai 2,6 miliar ton cadangan dengan umur cadangan mencapai 27 tahun. Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton).
Sedangkan untuk total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam. Data menunjukan bahwa SDA nikel di Indonesia sangat mendukung untuk meningkatkan ekonomi bisa dari ekspor, investasi, dll. Hilirisasi pertambangan merupakan bagian dari proses industrialisasi. Industrialisasi mendorong proses transformasi dari suatu negara dengan tingkat ketergantungan tinggi terhadap sumber daya alam menjadi negara mandiri dari sisi ekonomi untuk kemakmuran rakyat.
Hilirisasi mineral, patut untuk diketahui terlebih dahulu apa saja yang menjadi kegiatan pokok dalam usaha mineral dan batubara (minerba). Pertama, kegiatan penambangan (mining), kemudian peleburan (smelting), dan terakhir adalah pemurnian. Dari ketiga kegiatan pokok tersebut, yang berada pada sektor hulu dalam usaha mineral batubara adalah aktifitas penambangan, sedang dua lainnya (peleburan dan pemurnian) ialah termasuk aktifitas hilir. Sehingga, hilirisasi dimaknai sebagai segala proses peleburan dan pemurnian hasil tambang. Hal tersebut ditandai dengan penghentian ekspor nikel keluar negeri sebagai bahan mentah. Sebaliknya, nikel akan diolah terlebih dahulu di Indonesia sebelum hasilnya nanti akan di ekspor.
Tantangan hilirisasi saat ini diantaranya adalah hampir seluruh produk hasil pengolahan nikel di Indonesia, diekspor keluar negeri sebagai bahan baku industri vital dan strategis yang bernilai ekonomis tinggi dan teknologi pengolahan dan pemurnian masih dikuasai oleh asing terutama China dan Jepang.
Ketika sudah dikepung oleh perusahaan Asing dan perusahaan “orang Jakarta” di atas menjadi kekhawatiran mendalam bagi orang Raja Ampat bahwa kekayaan alam yang dimiliki Raja Ampat justru menjadi bencana besar bagi keberlangsung hidup anak cucu karena kerakusan oligarki yang mengimpikan hidup bersandar permadani dengan penuh kemewahaan, sementara alam, hutan, laut, dan ekosistem laut di Raja Ampat di rusak dengan alat berat mereka.
Lantas bagaimana dengan keberlangsungan ekosistem alam dan situs pariwisata Raja Ampat?. Kalau diperhatikan, kunjungan wisatawan ke Raja Ampat dari tahun ke tahun mengalami pertumbuhan yang signifikan. Pertumbuhan Wisatawan menurut Compound Annual Growth Rate (CAGR) bahwa kunjungan wisatawan ke Raja Ampat dari tahun 2014 ke 2019 adalah 21,86% per tahun. Rata-rata pertumbuhan wisatawan sejak 2007 hingga 2019 adalah 37,70% per tahun. Menurut BPS Kabupaten Raja Ampat (2016) bahwa kunjungan wisatawan domestik pada tahun 2011 hingga 2016, yakni jumlah kunjungan wisatawan domestik sebanyak 14.292 orang, dan wisatawan mancanegara sebanyak 54.127 orang. Kalau diperhatikan selama enam tahun dengan kunjungan wisatawan, Raja Ampat tidak pernah mengalami kerusakan lingkungan dibandingkan dengan kehadiran oligargi melalui lima perusahaan di atas sejak tahun 2008 sampai saat ini sudah lebih dari 500 hektar hutan dan vegetasi asli rusak akibat eksploitasi nikel.
Berdasarkan data BPS (2016) bahwa tren kunjungan wisatawan sangat signifikan naik, hal ini menunjukkan bahwa prospek pengembangan sektor pariwisata di Raja Ampat masa depannya sangat menghasilkan untuk penduduk lokal dibandingkan dengan hanya mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian yang cuman memberikan kontribusi sebesar 37,44 persen, dan sektor pertanian 28,53 persen terhadap struktur perekonomian Kabupaten Raja Ampat tahun 2015.
Diketahui Raja Ampat memiliki Kawasan spot wisata yang luar biasa indahnya yang berdampak positif melalui sektor pariwisata dengan menyumbang Rp 1,5 triliun per tahun, dan menyerap lebih dari 7.000 tenaga kerja lokal yang saat ini terancam oleh kerusakan lingkungan akibat tambang nikel.
Masyarakat adat dan organisasi lingkungan telah menolak investasi tambang nikel di Raja Ampat karena khawatir akan dampak negatif pada lingkungan dan hak-hak masyarakat adat yang puncaknya pada saat Kawasan nikel di Raja Ampat ini mendapat sorotan publik. Potensi Wisata Raja Ampat dikenal karena keindahan alamnya yang luar biasa membuatnya menjadi salah satu destinasi wisata utama bagi wisatawan. Pengembangan pariwisata di Raja Ampat dapat menjadi sektor unggulan melalui pemahaman yang tepat tentang potensi dan kebutuhan lokal.
Dalam konteks Antropologi Pariwisata, kunjungan wisatawan ke Raja Ampat dapat dianalisis dari beberapa aspek, yakni Interaksi Budaya yang dapat melihat kunjungan wisatawan ke Raja Ampat dapat mempengaruhi interaksi budaya antara wisatawan dan masyarakat lokal.
Hal ini dapat membawa perubahan budaya dan sosial bagi masyarakat lokal. Dampak Ekonomi, Pariwisata di Raja Ampat dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal melalui pengeluaran wisatawan dan penciptaan lapangan kerja. Pengembangan pariwisata berkelanjutan dapat menjadi Pengembangan pariwisata di Raja Ampat sehingga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan dan kebutuhan masyarakat lokal untuk memastikan bahwa pariwisata dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi wilayah Raja Ampat.
Berdasarkan penemuan Parinusa, dkk (2019) bahwa pendapatan Masyarakat lokal per bulan dari penjualan kamar Homestay sebesar 48,44 persen dengan tingkat pendapatan perbulan 5 sampai 35 juta rupiah. Hal ini menunjukkan bahwa dengan menjadi pengusaha homestay masyarakat lokal dapat merasakan manfaat ekonomi wisata yang berkembang di kawasan Raja Ampat dibandingkan dengan kehadiran perusahan Asing yang mengelola nikel Masyarakat lokal hanya mendapatkan limbah industri tambang yang mengakibatkan penyakit berbahaya.
Melalui tulisan ini dapat menggugah hati dan membuka mata tertutup para oligarki di Jakarta bahwa hilirisasi nikel bukan satu-satunya sektor yang dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan menjamin pertumbuhan ekonomi penduduk lokal tetapi sektor pariwisata pun mampu menjamin pendapatan asli daerah (PAD), dan mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi penduduk lokal yang ramah lingkungan dengan tidak merusak alam, hutan, dan segala isinya. Semoga tercerahkan.
Tinggalkan Balasan