radartimur.id

Dari Informasi ke Transformasi

Senin, 16 Juni 2025

Hilirisasi Nikel Mendunia Halmahera Merana 

Oleh Sunaidin Ode Mulae

Dosen Antropologi Pariwisata Universitas Khairun, Mahasiswa Pasca ilmu Antropologi Unhas

Pendahuluan

Merenungi lirik lagu Indonesia Raya hasil renungan seorang nasionalis sekaligus wartawan dan seniman pada tahun 1924, yakni Wage Rudolf Supratman di Surabaya, sepertinya sudah tidak relevan lagi dengan melihat fakta di tanah air Indonesia saat ini. Mengapa?. Pada stanza I lirik lagu itu membumikan bahwa “Hiduplah Tanahku, Hiduplah neg’riku, bangsaku, rakyatku, selamanya, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya”, sudah tidak relevan lagi dinyanyikan saat ini. Liriknya sudah cocok direvisi menjadi “matilah tanahku, matilah neg’riku, bangsaku, rakyatku, selamanya. Tidurlah jiwanya, matilah badannya, untuk Indonesia Raya”.

Kenapa musti direvisi karena saat ini banyak pemimpin negara ini sudah tidak tahu menyanyikan lagu itu apalagi menjaga bangsa Indonesia dari kemiskinan ekstrim, kerusakan lingkungan ektrim, penderiataan sampai pada merusak alam hanya untuk kepentingan sekelompok oligarki yang berkuasa dengan dalil membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya dan investasi triliun rupiah pada sektor pertambangan. Padahal, investasi itu hanya berupa angka-angka untuk memperkayakan diri, kelompok, dan keluarga dengan mengorbankan daerah penghasil tambang itu sendiri.

Mari kita lihat satu demi satu para oligarki mencungkil nikel dari tanah daerah penghasil nikel, emas, biji besi, dan Tembaga di Indonesia dari masa penjajahan Belanda-Jepang. Saat ini banyak dijumpai oleh penulis melalui fakta di lapangan menemukan bahwa banyak perusahan-perusahan tambang yang beroperasi di wilayah Indonesia adalah terbanyak berada di kawasan Tengah dan Timur Indonesia mulai dari di Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara, Morowali di Sulawesi Tengah, Desa Kawasi di Pulau Obi, Weda-Sagea di Halmahera Tengah,Todoli-Lede di pulau Taliabu yang semuanya ada di Provinsi Maluku Utara. Terdapat pula di Pulau Gag di Raja Ampat Provinsi Papua.

Industri-industri ekstratif pencakar bumi itu dibangunlah smelter di daerah-daerah penghasil tambang untuk menyaring kandungan isi tambang berupa nikel, batu bara, biji besi, emas, dan tembaga itu dari tanah dan ore. Industri-industri ekstraktif itu milik oligarki yang tinggal di tanah rata di Jakarta dan Tiongkok-Cina. Industri-industri ekstratif itu tanpa memandang belah kasih mengambil kandungan ore tambang di dasar bumi dengan menggaruk kasar ke atas permukaan bumi menggunakan truk-truk besar buatan “Asing” dan “Aseng”. Kandung ore tambang berupa Nikel itu kemudian di angkut menggunakan kapal buatan mereka ke di negara Tiongkok, Cina, dan Jepang untuk kebutuhan teknologi tinggi pada mobil, handphone, dan lain-lain.

Menurut data hasil penelitian para ahli bahwa kandung nikel di Indonesia memiliki potensi yang sangat banyak hampir tersebar di seluruh pelosok timur Indonesia. Menurut United States Geological Survey (USGS) cadangan nikel Indonesia adalah nomor satu dunia, dari 2,67 juta ton produksi nikel di seluruh dunia, Indonesia telah memproduksi 800 ribu ton, jauh mengungguli Filipina (420 ribu ton Ni), Rusia (270 ton Ni), dan Kaledonia Baru (220 ribun ton Ni) kemudian juga berdasarkan data dari Kementerian ESDM tahun 2020, ketahanan cadangan nikel di Indonesia mencapai 2,6 miliar ton cadangan dengan umur cadangan mencapai 27 tahun.

Kemudian, berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya biji nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan biji sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terikira 986 juta ton). Total sumber daya logam mencapai 174 juta ton dan 68 juta ton cadangan logam. Realisasi investasi sub sektor mineral nikel dan batu bara mencapai sebesar US$3,5 miliar hingga US$4,3 miliar. (Agung, dkk, (2022).

Hilirisasi Nikel

Melihat begitu banyak kandung nikel yang di miliki Indonesia maka Pemerintah Pusat meningkatkan hilirisasi nikel dalam negeri dengan membangun smelter. Pemerintah pada tahun 2024 telah membangun 53 smelter. Sementara pemilik smelter nikel ini adalah PT Aneka Tambang Tbk. dengan progres 97,7 persen, PT Smelter Nikel Indonesia (100 persen), PT Cahaya Modern Metal Industri (100 persen), dan PT Kapuas Prima Citra dengan progres pengerjaan mencapai 99,87 persen. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara yaitu per Januari 2020, biji nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen tidak dapat dikirim atau diekspor mentah ke luar negeri, keputusan ini dilakukan dalam upaya menjaga cadangan nikel dengan mempertimbangkan keberlanjutan pasokan bahan baku dari smelter yang sudah ada, salah satu alasan pemerintah memberlakukan pelarangan ekspor ore nikel adalah bahwa nikel dapat digunakan sebagai bahan baku untuk komponen mobil listrik.

Percepatan pelarangan ekspor nikel bertujuan untuk mendukung program pemerintah dalam percepatan program mobil listrik. Industri mobil listrik sangat bergantung terhadap komoditas nikel sebagai bahan baku pembuatan baterai mobil listrik. Program tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Indonesia juga memiliki teknologi untuk mengolah nikel kadar rendah yang bisa diubah menjadi cobalt serta lithium sebagai bahan baku pembuatan baterai untuk kendaraan listrik, yang mana program pembuatan kendaraan listrik Nikel merupakan komoditas yang paling menguntungkan karena menjadi bahan utama pembuatan baterai litium, terutama melihat permintaan produksi untuk kendaraan listrik yang semakin tinggi belakangan ini.

Saat ini ada beberapa jenis produk olahan nikel di Indonesia, yakni nickel pig iron (NPI), feronikel (FeNi), Ni-matte, mixed hydroxide precipitate (MHP), mixed sulphide precipitate (MSP), dan baja tahan karat (stainless steel). Waluyo Adi, dkk (2022).

Biji nikel pertama kali ditemukan pada tahun 1901 di gunung Verbeek di Pulau Sulawesi dari ahli minerologi Belanda. Kemudian pada tahun 1909 menemukan kandungan nikel lebih besar di pulau Kolaka. Perusahaan asal Belanda melakukan penambangan pada tahun 1934-1935, Perusahaan Bernama Boni Tolo Maatschappij anak perusahan dari Oost Borneo Maatschappij yang melakukan ekplorasi di Pomalaa, Kolaka, Pulau Maniang dan Pulau Lemo. Pada tahun 1942-1945 masa penjajahan Jepang melakukan penambangan nikel didirikan pabrik nikel matte. Kemudian, pada masa kemerdekaan perusahaan Amerika Serikat Freeport Sulphur Company berusaha melakukan penambangan tetapi karena gangguan keamanan sehingga terhambat. Kemudian melalui perusahan lokal Indonesia Bernama NV Perto/Pertambangan Toraja. Pada tahun 1960-an, Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan yang bersifat nasionalistis terkait sumber daya alam.

Pada tahun 1961, NV Perto diambil alih dan direstrukturisasi oleh Pemerintah Indonesia menjadi PT Pertambangan Nikel Indonesia. Pada tahun 1969, ekspor nikel dari Indonesia ke Jepang tercatat mencapai 265.213 ton. Produksi nikel terus mengalami peningkatan mencapai 900.000 ton pada tahun 1971 dan 935.000 ton pada tahun 1972. Pada tahun 1975, produksi nikel sempat menurun menjadi 801.000 ton, namun meningkat kembali pada 1976 menjadi 828.816 ton. Terkait dengan sumber nikel, sebagian besar sumber tersebut terdapat di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara. Sumber nikel yang terletak di Sulawesi Tengah persisnya berada di Sorowako dengan cadangan sebesar 700.000 ton dan Bulubalang dengan cadangan 320.000 ton. Sedangkan di Sulawesi Tenggara dapat ditemukan di Pomalaa dengan cadangan 1,37 juta ton dan Pulau Maniang dengan cadangan 62.000 ton. Pada 27 Juli 1968, Pemerintah Indonesia resmi menandatangani kontrak karya dengan International Nickel Company (INCO) dari Kanada untuk mengembangkan dan mengelola tambang nikel di Sulawesi.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengelola sumber daya mineral di Indonesia.

Undang – undang tersebut memandatkan pemberlakuan larangan ekspor mineral mentah termasuk komoditas nikel dalam kurun waktu lima tahun sejak peraturan itu ditetapkan. Tujuan utama dari kebijakan ini adalah mendorong trasformasi pada sektor mineral dan pertambangan dari yang sebelumnya fokus pada ekspor komoditas mentah menjadi fokus pada peningkatan nilai tambah dari sumber daya alam tersebut. Implementasi UU Minerba dimulai pada tahun 2014 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. PP Nomor 1 tahun 2014 tersebut berisi ketentuan pelarangan ekspor mineral mentah sebagaimana diamanatkan oleh UU No 4 tahun 2009. Untuk mendukung kebijakan hilirisasi, Pemerintah Indonesia kemudian juga menerbitkan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara untuk menggantikan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009. (sumber: Disertasi Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, Republik Indonesia).

Bagaimanakah Hilirisasi Nikel di Halmahera, Meranakah?

Babak baru Penambangan Nikel gencar dilakukan di era Presiden Jokowi dengan konsep Hilirisasi. Selain Nikel di Sorowako Sulawesi Tengah, dan Nikel di Kolaka, di Sulawesi Tenggara. Pulau Halmahera memiliki Cadangan Nikel dalam jumlah besar. Menurut telaah Kementerian ESDM (2020) provinsi Maluku Utara memiliki Cadangan Nikel 16 Juta ton, sejak tahun 1995 eksplorasi Nikel dilakukan di Pulau Gebe oleh PT Weda Bay Nikel melalui perusahan patungan Eramet Perancis dan ANTAM. Pulau Gebe digeruk kandungan nikel di dalamnya sekitar 13.000 hektar. Menurut Ambar et al (2021) dalam (Bahlil 2025) bahwa kesadaran akan pentingnya pengembangan industri hilir nikel di wilayah Gebe dan Weda semakin meningkat, terutama setelah pemerintah Indonesia menetapkan kawasan industri pengolahan nikel Buli di Halmahera Timur dan Pulau Obi di Halmahera Selatan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) pada tahun 2017, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2017.

Pada tahun 2018, pemerintah kembali menegaskan pentingnya pengembangan industri hilir nikel dengan menetapkan kawasan industri Weda Bay sebagai PSN (Ajam et al, 2021). Kawasan ini dikelola oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), yang merupakan hasil kerja sama antara Tsingshan, perusahaan produsen baja tahan karat terbesar di dunia, dan Eramet Group. Kawasan industri Weda Bay terletak di Desa Fatufia, Kecamatan Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah, dengan luas mencapai 2.000 hektar.

Ditetapkan sebagai salah satu PSN pada tahun 2020 melalui Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2020, kawasan ini berfungsi sebagai pusat industri terintegrasi yang memproduksi berbagai produk, termasuk baja, ferronikel, dan baterai kendaraan Listrik. Dari sisi pertambangan, hingga tahun 2024, PT Weda Bay Nickel memiliki kapasitas produksi sebesar 13.308.534,05 ton per tahun untuk saprolite dan 2.717.466,67 ton per tahun untuk limonite. Secara keseluruhan, terdapat 15 perusahaan yang memproduksi FeroNickel dan sudah beroperasi dengan kapasitas produksi mencapai 4.000.000 ton per tahun. Sebanyak 11 perusahaan memproduksi nickel matte, dimana 3 perusahaan sudah beroperasi dengan kapasitas produksi sebesar 218.000 ton per tahun, 1 perusahaan telah mencapai Commercial Operation Date (COD) dengan kapasitas produksi 120.000 ton per tahun, dan 7 perusahaan lainnya masih dalam tahap konstruksi dengan kapasitas produksi 401.749 ton per tahun.

Kemudian, terdapat 3 perusahaan yang memproduksi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP), di mana 1 perusahaan telah beroperasi dengan kapasitas produksi 921.000 ton per tahun, dan 2 perusahaan lainnya sedang dalam tahap konstruksi dengan kapasitas produksi masing-masing 921.000 ton dan 1.842.000 ton per tahun. Selain itu, 2 perusahaan yang memproduksi nickel sulfate sedang dalam tahap konstruksi dengan kapasitas produksi 804.800 ton per tahun. Terdapat juga 2 perusahaan yang memproduksi cobalt sulfate yang masih dalam tahap konstruksi dengan kapasitas produksi sebesar 41.862 ton per tahun. Terakhir, terdapat 2 perusahaan yang memproduksi Nickel Cobalt Manganese Hydroxide (PCAM/NMC), namun sedang dalam tahap konstruksi dengan kapasitas produksi mencapai 1.000.000 ton per tahun. (sumber: Disertasi Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM, Republik Indonesia).

Hilirisasi Nikel memiliki dampak besar bagi perusahan melalui industri ekstraktifnya dengan semangat menggaruk dasar bumi Halmahera karena “gatal” melihat begitu besar jumlah kandungan ore Nikel ini. Dampak hilirisasi dengan kebijakan hilirisasi Nikel menjadikan provinsi Maluku Utara menyumbang duit sebesar Rp.14,33 triliun pada tahun 2020 menjadi Rp 117,23 triliun di tahun 2023. Sedangkan di Sulawesi Tengah mengalami peningkatan nilai ekspor dengan memperoleh duit sebesar Rp 44,54 triliun di tahun 2017 menjadi Rp 231,59 triliun di tahun 2023. Melihat penggarukkan ore Nikel dari dasar bumi Halmahera dan Sulawesi itu menggambarkan pertumbuhan investasi dan ekspor Nikel sangat tinggi di dunia. PDRB atau nilai tambah yang timbul dari sektor tambang Nikel ini adalah riil per kapita di kabupaten Halmahera Tengah mencapai Rp 481,88 juta, artinya angka tersebut lebih dari sepuluh kali lipat PDB per kapita riil nasional.

Lantas apa yang di dapat bagi daerah sentra penghasil ore Nikel yang sudah rela mengorbankan alam dan hutan adatnya di kabupaten Halmahera Tengah. Semesntara, fakta di lapangan menunjukkan dampak kehadiran tambang di daerah sentra penghasil tambang seperti di kabupaten Halmahera Tengah khusus penduduk lokal tidak memiliki arti dengan sebelum adanya kehadiran industri ekstraktif di sana. Banyak dijumpai pada penduduk lokal terdampak limbah lingkungan, air minum mereka tercemar akibat eksplorasi industri ekstraktif ini. Saat ini Weda kabupaten Halmahera Tengah bagaikan “diperkosa dengan kasar” oleh oligarki atas nama negara dengan tanpa belas kasih karena kenafsuan mereka dalam menjamah lahan yang masih “virgin” itu.

Dampak hilirisasi Nikel pada sosial terjadi pada penduduk lokal di Halmahera Tengah terdapat penduduk asli keluar hutan karena kehabisan hewan buruan mereka. Penduduk asli itu (orang Togutil) yang hidup beranak pinak di hutan Halmahera sejak jaman penjajah sampai saat ini, kaget melihat kenapsuan para oligarki dalam menggaruk kasar perut bumi Halmahera tanpa belas kasih pada pemilik tuannya. Adakah keadilan di negeri ini? Sementara pembagian dari nilai ekspor ore Nikel daerah hanya mendapat 20% sedangkan pusat 80% , seharusnya adil dalam pembagian 50% daerah dan pusat sama agar punyai keberpihakan ke daerah-daerah sentra penghasil tambang. Sehingga melalui tulisan ini, instrument daerah seperti legislative, eksekutif, kesultanan perlu mengusulkan untuk merevisi kebijakan pembagian hasil tambang, dan juga perlu ada peraturan daerah yang membahas ruang hutan adat dan ruang hutan rakyat agar ijin usaha pertambangan tidak semberangan diberikan oleh pusat. Semoga tercerahkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini