Lempar Batu, Sembunyi Tangan; Suatu Catatan dari “Dalam”
Oleh Julkarnain Pina
Hari-hari ini, dinamika politik daerah nampak kurang baik, tidak harmonis dan saling adu kuat. Sangat elitis, sarat kepentingan dan “membingungkan” publik. Kita tidak sedang membangun peradaban. Tetapi kita, sedang membangun kekuatan, menciptakan keterbelahan dan/atau pengelompokan-pengelompokan!
Kita terlanjur percaya, bahwa posisi atau kapasitas kita didukung oleh kekuatan besar; rakyat-uang-kekuasaan. Dengan itu kita berdalih, bahwa apa pun yang kita buat akan mendapat dukungan. Menghakimi bak hakim yang paling adil, suci tanpa noda, tanpa dosa.
Jika diizinkan mengkritik, orang-orang culas yang bertopeng gelar akademik pun turut andil. Memberi saran penuh intrik dan tendensius. Bukan pada posisi tengah dan mengurai benang kusut. Tapi mereka, lebih membuat kusut, membuat keruh bahkan “provokasi” pada kuasa yang (bisa disangka), mereka juga punya maksud (cari muka) dan punya mau tersembunyi. Ini bukan menjaga nalar sehat, tapi sekedar menjaga perut agar tak lapar. Sekedar saran, mari fokus pada tugas masing-masing.
Apalagi, sebagian mereka adalah pimpinan, atau orang dengan peran penting dalam pengembangan dan kemajuan institusi. Ada Dekan bahkan Rektor. Tahan sedikit, jangan terlampau kecentilan. Perbaiki sistem, lengkapi fasilitas dan upaya pada mutu. Agar, tidak dibilang ambisius yang ambigu. Memaksa kehendak pilihan pendidikan padahal abai perbaikan. Bukan berarti kita tidak mau, alergi dan fobia terhadap kritik, tetapi yang kita inginkan adalah pikiran jernih yang nihil tendensi. Moral force itulah yang kita ingini pada pikiran seseorang dengan kapasitas akademisi. Sebagaimana ucap Antonio Gramsci tentang intelektual organik dan intelektual anorganik/tradisional.
Bahwa tentang kunjungan kerja, konsultasi dan silaturrahim adalah tugas yang pasti akan dipertanggungjawabkan secara administratif dan moril baik oleh lembaga dan personal. Dia punya mekanisme dan tata cara yang tidak ujuk-ujuk soal desakan politis kelompok yang mengatasnamakan publik. Kita sadar, bahwa jabatan politik yang lahir dari mekanisme pemilihan rakyat akan balik dan dipertanggungjawabkan kepada rakyat!
Dalam soal kuasa, ia tidak lebih hanyalah amanah yang Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa titipkan kepada siapapun hari ini. Ia mesti dijalankan dengan penuh kasih sayang, lapang dada dan tanpa bekas emosional dan rasa dendam. Sebagaimana hakikatnya, manusia tidak luput dari khilaf dan salah. Ia diadili tapi bukan untuk dipecundangi.
Sekuat-kuatnya, pasti punya sisi lemahnya!
Biarlah dinamika ini mengalir, toh ia akan menuju pada muara yang sama. Berjalanlah tanpa intervensi untuk niat baik memperbaiki. Berbuatlah tanpa takut, jika, yang kita perbuat adalah hal baik dalam koridor konstitusi dan hati yang “Mutma’innah”.
Tidak ada luka yang tak sembuh. Setiap luka pasti ada obatnya. Jagalah hati, jangan sampai melukainnya. Hino Podiki, De Porigaho, Nanga Doku Masirete.
Tinggalkan Balasan