radartimur.id

Dari Informasi ke Transformasi

Sabtu, 28 Juni 2025

“Rame-Rame ke Mana? Refleksi atas Arah Pariwisata Morotai”

Oleh: Firzin Nurdin, Jurnalis Morotai

Morotai, mutiara di bibir Pasifik yang menyimpan potensi luar biasa sebagai destinasi pariwisata. Kaya akan jejak sejarah Perang Dunia II, lanskap bahari yang memesona, dan budaya lokal yang unik, Morotai semestinya menempati posisi strategis dalam peta pariwisata nasional bahkan regional. Namun, arah kebijakan pariwisata Morotai mengalami transformasi besar dalam beberapa tahun terakhir sayangnya, tidak sepenuhnya ke arah yang progresif.

Era mendiang mantan Bupati Morotai, Benny Laos: Membangun Identitas Pariwisata Global

Di masa pemerintahan Benny Laos, arah kebijakan pariwisata Morotai digarap dengan pendekatan strategis dan modern. Dengan menyandang tajuk “Land of Stories,” Morotai ditawarkan ke publik sebagai wilayah yang tidak hanya menyajikan keindahan visual, tetapi juga memiliki narasi kuat sejarah, budaya, dan harapan masa depan. Branding ini mendapat pengakuan dari Kementerian Pariwisata dengan masuknya Morotai ke dalam Kharisma Event Nusantara (KEN) sebuah pengakuan bahwa event dan atraksi Morotai memiliki daya tarik nasional dan internasional.

Festival Morotai saat itu bukan sekadar hiburan, melainkan juga pendidikan publik dan promosi budaya. Event seperti Bambu Tada dan Takuwela dikemas secara profesional dan kontekstual. Bukan sekadar tontonan, tetapi sarat makna. Melibatkan seluruh elemen masyarakat: Seniman, budayawan, kurator museum, pemangku adat, pemuka agama dan pelaku industri kreatif hingga biro perjalanan.

Era “Rame-Rame Ke Morotai”: Reduksi Makna, Kemenangan Jargon

Berbeda dengan era sebelumnya, kebijakan pariwisata saat ini ditandai oleh perubahan drastis dalam orientasi dan estetika. Pemerintah kabupaten melalui tagline “Rame-Rame ke Morotai”, yang diambil dari akronim pasangan kepala daerah saat ini, tampak lebih menekankan mobilisasi massa daripada kurasi pengalaman. Alih-alih menggali lebih dalam akar budaya lokal atau menonjolkan keunikan sejarah Morotai, pendekatan yang diambil lebih menyerupai festival rakyat atau pasar malam.

Narasi yang tadinya monumental dan bernilai tinggi “Land of Stories” berganti dengan pendekatan simbolik yang sektarian. Acara budaya tradisional seperti Bambu Tada dan Takuwela, yang memiliki konteks spiritual dan historis, kini direduksi menjadi atraksi panggung yang kerap dipentaskan tanpa kedalaman makna.

Lebih parahnya, festival kini lebih banyak didesain untuk memuaskan kerumunan, bukan untuk mendidik atau memberdayakan. Tidak ada peta kuratorial, tidak ada narasi lintas-sejarah, dan minim pelibatan komunitas budaya otentik. Yang muncul justru hiruk-pikuk keramaian tanpa substansi, dengan jargon “rame-rame” atau menjadi satu-satunya ruh kekuasaan saat ini.

Analisis Kritik: Jebakan Populisme dan Simbolisme Kosong

Kebijakan pariwisata Morotai saat ini sedang jatuh dalam jebakan populisme budaya mengganti mutu dengan kuantitas, mengganti cerita dengan suara, mengganti kearifan lokal dengan gimmick elektoral. Ini bukan sekadar soal branding atau jargon, tetapi persoalan arah apakah kita ingin membentuk ekosistem pariwisata yang berkelanjutan dan bermakna, atau sekadar memanfaatkan event sebagai panggung politik sektoral?

Lebih dari itu, Morotai kehilangan momentumnya di kancah nasional. Tidak ada lagi kabar tentang Kharisma Event Nusantara. Tidak ada roadmap pariwisata yang jelas. Tidak ada sinergi dengan pelaku industri kreatif, sejarahwan, komunitas budaya, atau investor strategis. Yang ada adalah aktivitas seremonial, perkumpulan para demagog yang berusaha membinasakan akal masyarakat.

Penutup: Saatnya Menyusun Ulang Kompas Pariwisata Morotai

Morotai layak mendapatkan lebih dari sekadar kerumunan. Ia layak mendapat cerita yang dikisahkan dengan bangga, budaya yang ditampilkan dengan otentik, dan sejarah yang dimaknai ulang dalam bingkai pariwisata edukatif dan transformatif. Pemerintah daerah seharusnya kembali pada prinsip dasar: pariwisata bukan hanya tentang ramai-ramai, tetapi tentang menjadi ruang jumpa antara manusia, alam, dan peradaban.

Jika tidak, maka Morotai akan terus bergerak ke belakang bukan karena ia kekurangan potensi, tetapi karena kebijakan publiknya terjebak dalam romantisme simbol, bukan strategi substantif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini