Orang Morotai Dilarang Sakit
Oleh: Kasim Bungan – Jurnalis Morotai
Di ujung utara Halmahera, Pulau Morotai dikenal dengan sejarahnya yang mendunia dan sumber daya alamnya yang kaya. Namun di balik citra itu, tersembunyi kenyataan pahit, akses layanan kesehatan yang kian jauh dari harapan.
Fakta terbaru yang mencengangkan, Pemerintah Kabupaten Pulau Morotai menunggak pembayaran BPJS Kesehatan selama tiga bulan. Akibatnya, masyarakat harus menanggung dampak langsung kesengsaraan, kebingungan, bahkan ancaman nyawa.
Pelayanan kesehatan bukanlah privilese, melainkan hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin oleh undang-undang. Ketika hak itu diabaikan, negara melalui pemerintah daerah telah gagal menjalankan mandatnya. Kekosongan obat di 10 puskesmas dan RSUD Ir. Soekarno selama berbulan-bulan adalah bukti nyata kelalaian tersebut.
Warga yang terbaring sakit di rumah sakit dan puskesmas hanya bisa menunggu, tanpa kepastian obat. Mau berobat ke mana? Mau membeli obat di mana? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui mereka yang tak berdaya.
Ironi ini meminjam kata-kata Foucault: “Penyakit orang miskin adalah produk dari keadaan-keadaan mengerikan tempat hidup mereka. Penyakit orang kaya adalah akibat kehidupan mereka yang boros.” Ungkapan itu terasa relevan di Morotai hari ini.
Mereka yang tak mampu adalah pihak yang paling merasakan dampak sistem kesehatan yang timpang. Sementara itu, mereka yang berada di lingkar kekuasaan atau memiliki akses finansial, bisa dengan mudah mencari layanan di luar daerah. Kesenjangan ini semakin memperlebar luka sosial.
Kondisi ini mengingatkan pada kritik tajam Eko Prasetyo dalam bukunya “Orang Miskin Dilarang Sakit.” dalam buku itu ditulis bahwa sistem kesehatan di negeri ini sering menjadi alat diskriminasi. Koruptor dengan mudah mendapatkan surat sakit untuk menghindar dari persidangan, sementara rakyat kecil mati perlahan karena tak mampu membeli obat. Kritik Eko, meski ditulis bertahun-tahun lalu, tetap relevan. Morotai adalah contoh nyata bahwa obat-obatan kosong, BPJS mandek akhirnya pelayanan dasar tak berjalan.
Krisis kesehatan ini bukan sekadar masalah teknis atau administratif. Ini adalah masalah moral dan politik. Tertunggaknya pembayaran BPJS menunjukkan lemahnya perencanaan dan manajemen anggaran. Lebih dari itu, ini menunjukkan kurangnya empati terhadap rakyat yang dilayani. Visi pemerintah daerah di bawah kepemimpinan Bupati Rusli Sibua dan Wakil Bupati Rio Kristian Pawane, saat ini menjadi kabur apakah kesehatan rakyat benar-benar prioritas, atau hanya slogan kosong di atas kertas?
Kita patut bertanya, apa arti pembangunan jika rakyat sakit tak bisa diobati? Apa gunanya infrastruktur megah jika obat di puskesmas kosong? Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, tetapi panggilan nurani. Karena sakit tidak mengenal status sosial, bisa menimpa siapa saja. Bedanya, mereka yang berpunya bisa selamat, sementara mereka yang miskin kadangkala harus pasrah.
Editorial ini bukan sekadar kritik untuk pemerintah daerah, tetapi juga seruan untuk perubahan. Morotai membutuhkan pemimpin yang cepat tanggap dan memiliki keberpihakan nyata pada rakyat. Jaminan kesehatan harus ditempatkan sebagai prioritas, bukan beban anggaran. Mekanisme pembiayaan BPJS harus dibenahi, distribusi obat harus dipastikan lancar, dan pengawasan anggaran kesehatan harus diperketat.
Kesehatan adalah fondasi kemanusiaan. Tanpa itu, pembangunan hanya ilusi. Jangan biarkan semboyan sinis ini menjadi kenyataan di Morotai: “Orang miskin dilarang sakit.” Negeri ini, termasuk Morotai, berutang pada rakyatnya sebuah sistem kesehatan yang adil, manusiawi dan merata. Dan utang itu harus segera dibayar, sebelum lebih banyak masyarakat merasakan dampaknya.(*)
Tinggalkan Balasan