Goro-Goro dan Timlonga Menunggu Terang
Oleh : Ardi Kailul
Reporter RadarTimur.id
Di banyak kesempatan, pejabat publik kerap berpidato tentang pemerataan pembangunan. Namun di lapangan, masih banyak wilayah yang hidup dalam bayang-bayang ketertinggalan. Dua desa di ujung selatan Kabupaten Halmahera Selatan Goro-Goro dan Timlonga, Kecamatan Bacan Timur menjadi contoh telanjang betapa janji-janji itu masih jauh dari realitas.
Di era digital yang serba cepat ini, kedua desa tersebut masih harus bergulat dengan keterbatasan dasar, jalan yang buruk, jembatan minim, layanan kesehatan terbatas, fasilitas pendidikan seadanya, sinyal telekomunikasi nyaris tidak ada, dan yang paling menyedihkan, listrik hanya menyala setengah hari. Warga bergantung pada lampu penerangan umum desa yang hidup pukul enam sore dan padam tengah malam. Setelah itu, kegelapan kembali menguasai malam-malam mereka. Sementara di desa tetangga seperti Sabatang, Keireu, dan Nunifi, listrik sudah menyala 24 jam penuh.
Kondisi ini bukan sekadar cerita getir di pelosok. Tapi tamparan bagi nurani pemerintah daerah dan provinsi. Bagaimana mungkin di satu kabupaten, sebagian warganya hidup terang dan nyaman, sementara sebagian lain hidup dalam keterbatasan? Apalagi, Goro-Goro dan Timlonga bukanlah desa miskin potensi. Lahan mereka subur, hasil bumi melimpah. Kelapa, damar, pala, hingga cengkeh adalah komoditas unggulan yang sudah lama dilirik pembeli dari luar Maluku Utara. Kapal-kapal khusus bahkan rela datang hanya untuk membeli hasil bumi di sana. Artinya, ada sumber daya ekonomi nyata yang bisa menjadi penggerak kesejahteraan.
Namun, kekayaan alam tanpa dukungan infrastruktur hanya akan menguntungkan pihak luar. Petani tetap terjerat biaya angkut tinggi karena jalan rusak, akses pendidikan terhambat, layanan kesehatan sulit dijangkau. Lebih jauh, ketimpangan semacam ini bisa melahirkan ketidakpuasan sosial. Rasa terpinggirkan dapat menumbuhkan apatisme dan ketidakpercayaan pada pemerintah. Ini bukan sekadar soal fasilitas, tetapi juga soal martabat dan keadilan.
Persoalan ini sebenarnya telah berulang kali disuarakan warga. Rencana pembangunan jalan dan jaringan listrik dari Sabatang ke Goro-Goro dan Timlonga sudah dibahas di forum resmi musyawarah desa. Tim survei pun dikabarkan telah meninjau lokasi. Namun bertahun-tahun berlalu tanpa realisasi. Ini menunjukkan kelemahan komitmen dan lemahnya keberpihakan pemerintah. Pembangunan tak boleh hanya berhenti pada janji.
Pemerintah Kabupaten Halsel dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara harus sadar, daerah terpencil seperti Goro-Goro dan Timlonga juga bagian dari republik ini. Warga mereka punya hak konstitusional untuk mendapat fasilitas dasar, listrik yang layak, jalan yang memadai, akses kesehatan dan pendidikan yang terjangkau, serta jaringan komunikasi yang menunjang aktivitas ekonomi. Tanpa itu, berbicara soal peningkatan kesejahteraan hanya menjadi ilusi.
Saatnya pemerintah mengubah paradigma pembangunan. Anggaran tidak boleh hanya difokuskan pada daerah yang dekat dengan pusat kekuasaan atau yang lebih ramai. Pembangunan harus menembus daerah-daerah pinggiran. Pemerintah provinsi perlu menjadikan Goro-Goro dan Timlonga sebagai prioritas. Kerja sama dengan PLN, penyedia telekomunikasi, dan kementerian terkait harus segera dijalankan. Jangan menunggu warga berunjuk rasa atau isu ini viral di media sosial baru bergerak.
Keadilan pembangunan adalah kunci soliditas daerah. Maluku Utara tak akan pernah benar-benar maju jika sebagian wilayahnya tetap hidup dalam kegelapan dan keterbatasan. Goro-Goro dan Timlonga mengingatkan kita bahwa pemerataan pembangunan bukan sekadar slogan. Ini adalah kewajiban moral dan politik.
Sudah waktunya Maluku Utara menoleh ke ujung selatan. Potensi besar di Goro-Goro dan Timlonga menunggu untuk dikembangkan. Lebih dari itu, masyarakat di sana menunggu hak mereka dipenuhi. Jangan biarkan mereka terus menjadi penonton dari kejauhan ketika daerah lain melaju. Pembangunan harus hadir di sana, tidak nanti, tapi sekarang.
Tinggalkan Balasan