radartimur.id

Dari Informasi ke Transformasi

Minggu, 26 Oktober 2025

DOB Sofifi Tidak Mengdegradasi Identitas Kesultanan Tidore

Oleh: Muhammad Rizal

Pegiat Sosial

Sejak Provinsi Maluku Utara resmi berdiri pada tahun 1999, satu persoalan yang tidak pernah tuntas adalah bagaimana mewujudkan Sofifi sebagai ibu kota provinsi yang sesungguhnya. Penetapan Sofifi melalui Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 adalah pilihan politik yang sarat makna. Negara ingin membangun Maluku Utara dari daratan Halmahera, bukan semata dari pulau-pulau.

Namun, lebih dari dua dekade berlalu, Sofifi belum sepenuhnya menjelma sebagai jantung pemerintahan. Infrastruktur jalan masih terbatas, kantor-kantor pemerintah provinsi belum tertata rapi, bahkan sebagian besar aktivitas birokrasi masih berlangsung di Ternate. Sofifi lebih sering dipandang sebagai “alamat formal” ketimbang pusat pemerintahan riil.

Dalam situasi stagnan inilah gagasan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi kembali disuarakan. DOB dianggap sebagai jawaban agar Sofifi tidak sekadar nama di atas kertas, melainkan benar-benar tumbuh menjadi kota pemerintahan modern dengan perangkat otonom, wali kota, DPRD, dan APBD sendiri.

Akan tetapi, wacana ini memantik resistensi. Sebagian pihak di Tidore Kepulauan, termasuk kalangan Kesultanan Tidore. Dari sekian kekhawatiran-kekhawatiran ada salah satu yang perlu untuk dibahas dengan narasi dingin yakni soal potensi mengikis identitas historis. Kekhawatiran ini perlu diluruskan, karena ada perbedaan besar antara batas administratif negara modern dan otoritas adat yang diwariskan sejarah.

Kesultanan Tidore, Identitas yang Tak Terhapus Zaman

Kesultanan Tidore adalah salah satu kekuatan besar di timur Nusantara. Catatan sejarah menunjukkan pengaruhnya meluas jauh di sebagian Halmahera, Pulau Obi, Seram Bagian Timur, bahkan hingga sebagian wilayah Papua Barat. Dari Tidore, Sultan tidak hanya memerintah wilayah-wilayah itu, melainkan juga membangun jejaring diplomasi global. Hubungan dengan Spanyol, rivalitas dengan Belanda, hingga pengaruh ke jalur perdagangan rempah membuktikan besarnya peran Tidore di pentas dunia.

Bagi orang Tidore, kesultanan adalah identitas kolektif. Tidore bukan sekadar institusi tradisional, tetapi simbol adat dan legitimasi moral. Identitas ini tetap hidup meski Republik Indonesia berdiri, kabupaten dimekarkan, dan provinsi baru lahir.

Contoh nyata terlihat di Papua Barat. Meskipun secara politik berdiri sebagai provinsi sendiri, legitimasi historis Kesultanan Tidore masih dihormati. Relasi kultural ini menunjukkan bahwa batas administratif tidak pernah mampu menghapus jejak adat. Begitu pun berlaku di wilayah Halmahera Tengah dan Halmahera Timur. Maka, dengan itu pembentukan DOB Sofifi tidak mungkin mengurangi eksistensi Kesultanan Tidore, sebab otoritas kesultanan adalah otoritas kultural yang melampaui garis batas negara.

Sejarah Administratif Sofifi dan Oba

Sofifi bukanlah wilayah baru dalam konteks administratif. Berdasarkan UU No. 60 Tahun 1958, Kabupaten Maluku Utara dibentuk dengan ibu kota di Ternate, dan Oba saat itu berstatus sebagai kecamatan dengan pusat pemerintahan di Payahe.

Selanjutnya, melalui UU No. 6 Tahun 1990, sebagian wilayah Kabupaten Maluku Utara dimekarkan menjadi Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng) dengan ibu kota di Soasio, Tidore. Namun, Kecamatan Oba tidak ikut masuk Halteng dan tetap berada di Kabupaten Maluku Utara.

Baru dengan UU No. 1 Tahun 2003, Kecamatan Oba resmi dipindahkan ke Kota Tidore Kepulauan. Saat bergabung ke Tikep, Oba masih merupakan satu kecamatan utuh. Kemudian, melalui Perda Kota Tikep No. 4 Tahun 2004, Oba dimekarkan menjadi empat yakni Kecamatan Oba, Kecamatan Oba Utara, Oba Tengah dan Oba Selatan.

Saat Provinsi Maluku Utara dimekarkan dari Provinsi Maluku pada 1999, muncul perdebatan besar, di mana ibu kota harus ditempatkan? Ternate menonjol sebagai pusat ekonomi, Tidore sebagai kota sejarah, dan Halmahera sebagai pulau terbesar yang selama ini terpinggirkan.

Akhirnya, Sofifi dipilih. Penetapan ini sah melalui UU No. 46 Tahun 1999 dengan pertimbangan diantaranya letak geografis yang strategis, dorongan pemerataan pembangunan dari daratan, kompromi politik antarwilayah termasuk Ternate serta Tidore dan nilai historis Sofifi yang masuk dalam teritori Kesultanan Tidore.

Sofifi dipandang sebagai titik tengah, simbol pembangunan dari “tubuh daratan”. Namun, pembangunan lamban membuat ibu kota ini tidak berkembang sebagaimana mestinya.

DOB Sofifi Jalan Keluar dari Stagnasi

Sejak 1999, Sofifi memang ibu kota provinsi, tetapi secara administratif tetap berada di wilayah Kota Tidore Kepulauan. Situasi ini menimbulkan beban ganda bagi Tikep yakni mengurus daerahnya sendiri sekaligus menanggung dampak keberadaan pusat pemerintahan provinsi.

DOB Sofifi menawarkan solusi. Dengan status kota otonom, Sofifi bisa memperoleh APBD sendiri, tata ruang jelas, dan perangkat pemerintahan lengkap. Hal ini memungkinkan percepatan pembangunan dan efisiensi birokrasi. Pengalaman di daerah lain membuktikan, pemekaran dapat meningkatkan kapasitas fiskal dan pertumbuhan ekonomi.

Sebaliknya, Tidore akan terbebas dari beban administratif. Kota ini bisa fokus membangun identitas sebagai kota budaya, kota sejarah, dan kota pariwisata. Dengan benteng kolonial, jejak sejarah Islam, dan narasi panjang kesultanan, Tikep punya modal kuat menjadi “heritage city” Maluku Utara.

Kesultanan dan Negara Modern Dua Jalur yang Berbeda

Kesultanan Tidore memiliki otoritas kultural yang lintas zaman dan lintas batas administratif. Negara modern bekerja melalui mekanisme administratif, dengan logika pembangunan dan tata kelola birokrasi. Keduanya tidak saling meniadakan, justru saling menguatkan.

DOB Sofifi bukan ancaman, melainkan peluang. Sebab mempertegas Sofifi sebagai pusat pemerintahan modern, sekaligus memberikan ruang bagi Kesultanan Tidore untuk lebih fokus berperan di ranah budaya dan diplomasi sejarah. Bahkan regulasi modern seperti UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan memberi legitimasi baru bagi kesultanan sebagai penopang identitas bangsa.

Narasi ancaman yang melekat pada DOB Sofifi sejatinya lahir dari kekhawatiran berlebih. Sejarah membuktikan, batas administratif tidak pernah mampu menghapus otoritas adat. Di Papua, Halmahera, maupun Oba, jejak Kesultanan Tidore tetap hidup meski garis birokrasi berubah.

DOB Sofifi justru menghadirkan harmoni politik baru. Sofifi mendapatkan kepastian status sebagai ibu kota provinsi yang modern, Tidore Kepulauan bebas fokus pada agenda budaya dan pariwisata, sementara Kesultanan Tidore tetap tegak sebagai mercusuar sejarah dan adat.

Sofifi dengan DOB adalah langkah modernitas. Kesultanan Tidore adalah warisan identitas. Keduanya tidak saling meniadakan, melainkan saling menguatkan demi Maluku Utara yang lebih maju.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini