LBH Ansor Desak Kejati Malut Usut Dugaan Penyimpangan Rp21,2 Miliar di APBD Halsel
RadarTimur.id, Halsel — Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) tahun 2023 menguak temuan mengejutkan senilai lebih dari Rp21,2 miliar.
Angka fantastis ini diduga kuat berkaitan dengan penyimpangan dalam pengelolaan belanja modal dan pemeliharaan aset daerah.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Ansor Maluku Utara, Zulfikran Bailussy, menilai temuan BPK tersebut merupakan sinyal serius yang tidak boleh diabaikan oleh aparat penegak hukum.
“Angka ini bukan sekadar deretan digit di laporan audit. Itu adalah uang rakyat — hasil keringat petani, nelayan, dan buruh di Halmahera Selatan yang semestinya kembali kepada kesejahteraan mereka, bukan tenggelam di proyek fiktif dan permainan anggaran,” tegas Zulfikran, Sabtu (25/10/2025).
Menurutnya, temuan terbesar berasal dari Belanja Modal Aset Tetap Lainnya senilai Rp13,27 miliar, yang seharusnya dialokasikan untuk rehabilitasi sekolah, kantor kecamatan, dan aula Sekretariat Daerah.
Namun, anehnya, seluruh pekerjaan fisik tersebut justru dikategorikan sebagai aset tetap lainnya.
“Ini bukan sekadar salah klasifikasi administratif. Ini bentuk penyamaran yang bisa menutupi jejak siapa yang sebenarnya menikmati uang negara,” ujarnya.
Zulfikran menegaskan, dalam logika akuntabilitas publik, rehabilitasi gedung jelas masuk kategori belanja modal, bukan aset lainnya.
“Ketika hal mendasar seperti ini dilanggar, publik punya alasan kuat untuk curiga bahwa ada yang sengaja disembunyikan,” katanya.
Selain itu, BPK juga mencatat adanya tiga pos belanja pemeliharaan senilai Rp7,99 miliar, di antaranya rehabilitasi interior Kantor Sekretariat Daerah yang menelan biaya hingga Rp7,14 miliar.
“Angka sebesar itu terasa tidak masuk akal untuk sekadar rehab interior. Mungkinkah dindingnya dilapisi emas, atau plafonnya bertabur kristal?” sindir Zulfikran.
LBH Ansor Maluku Utara menilai, temuan BPK ini cukup kuat menjadi dasar bagi Kejaksaan Tinggi Maluku Utara (Kejati Malut) untuk segera membuka penyelidikan resmi.
“Laporan keuangan daerah bukan sekadar catatan angka, tetapi dokumen pertanggungjawaban publik. Ketika ada penyimpangan bernilai miliaran, diam sama saja dengan membiarkan kejahatan mengakar dalam birokrasi,” tegasnya.
Menurut Zulfikran, kesalahan klasifikasi, mark-up, dan manipulasi laporan keuangan bukan sekadar pelanggaran teknis, tetapi bentuk korupsi struktural yang dilakukan secara sistematis dan dilegitimasi melalui dokumen resmi.
“Kasus ini adalah cermin rapuhnya moral administrasi publik di tingkat daerah. Ketika uang rakyat diperlakukan seolah milik pribadi pejabat, maka demokrasi lokal kehilangan maknanya,” ujarnya menutup pernyataan.
LBH Ansor Malut pun mendesak Kejati Malut untuk menelusuri dugaan penyimpangan Rp21,2 miliar tersebut dan memastikan setiap rupiah kembali kepada rakyat, bukan ke rekening pribadi yang disamarkan di balik istilah “rehabilitasi interior.”
“Keadilan tidak boleh berhenti di meja audit. Ia harus hidup di tangan penegak hukum yang berani menembus kabut kepentingan,” pungkas Zulfikran Bailussy.(abd)

