PEMUDAH DAN SEJARAHNYA YANG TELAH MATI; Sebuah Refleksi Hari Sumpah Pemuda.
Oleh: AHMAD R IDIN
Aktivitas Himpunan Mahasiswa Islam
Lintasan sejarah kepemudaan Indonesia bukanlah tentang usia, melainkan lintasan sejarah kepemudaan adalah kepekaan intelektual untuk bergerak pada orentasi keadilan yang harus di distribusikan oleh negara. Itulah yang tergambar pada setiap etape perjalanan kepemudaan dalam pergerakan. Mulai dari budi utomo, sumpah pemuda, Rengasdengklok, orde lama hingga orde baru.
Tak heran jika pemuda menjadi inisiator penting pada setiap titik nadir perubahan bangsa yang kian tercatat dalam buku sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Hal ini sangat berbedah jau dari lintasan kepemudaan pasca orde baru atau bisa kita sebut sebagai kondisi kekinian yang di jejaki oleh pemuda. Mengapa demikian?, sebab lintasan kepemudaan kekinian hanyalah berputar pada kebisingan oleh hiruk-pikuk “komoditi” dan huru-hara komunaliame.
Alhasil kehangatan pikiran yang telah tertorehkan seakan tak lagi “bernyawa”. Mulai dari persatuan sebagai grammar utama intelektualitas pergerakan hanya menjadi lampiran yang terabaikan, dan ide keadilan yang harusnya menjadi oksigen pergerakan juga harus terlibas dari manuver politik pragmatik.
Akhirnya alih-alih menjadi penerjemah grammar rakyat, pemuda justru menjadi biro humas utama yang menyusun retorika kekuasan tentang keadilan, padahal retorika keadilan yang terucap berasal yang logika yang fallacy.
Tentu kematian ini sebarnya bukan faktor hukum alam yang membatasi kehidupan pemuda untuk bergerak. Melainkan kematian pemuda kekinian adalah akibat dari keracunan ide kapitalistik kekuasaan yang bersumber dari kecemasan status sosial kepemudaan. Akhirnya menimbulkan infeksi intelektualitas kepemudaan dan mengakibatkan eksistensi kepemudaan mengalami kematian.
Tetapi karna kematian pemuda bukan karna tubuhya melainkan pikiranya, maka bisa dibangkitkan kembali. Kebangkitan pemuda itu haruslah lakukan dengan cara radikal agar racun kecemasan status sosial itu dapat dikeluarkan dari alam pikir pemuda.
Namun ide radikal apakah yang dapat menetralisir racun kecemasan status sosia itu. Bukankah racun kecemasan status soaial telah menyebar secara masif melalui asupan digital yang kian mensimulasi?.
Tentu fenomena ini haruslah menjadi diskursus utama sebagai upaya menghidupkan kembali sejarah pemudah yang telah mati. Namun merumuskan obat penawar tidaklah muda, membutuhkan sebuah diskursus tajam dalam forum-forum ide.
Maka tanpa disadari sebenarnya kita membutuhkan kembali kongres Pemuda yang ke III kalinya, untuk dapat merumuskan kembali ide kepemudaan yang telah mati untuk hidup kembali agar nafas perubahan tidak tergrogoti lagi oleh brutalitas kekuasaan yang menjalin hubungan gelap dengan korporat hingga membuat atmosfer politik sebagai pendistribusian keadilan tersalip di tikungan kepentingan borjuasi.

