Maluku Utara: Emas Timur yang Layak Jadi Daerah Istimewa
Oleh: Ardi Kailul
Jurnalis
Di ujung timur Indonesia, berdiri sebuah provinsi kecil yang kini menjadi sorotan dunia yaitu Maluku Utara (Malut). Wilayah ini bukan sekadar gugusan pulau indah di Samudra Pasifik, tetapi juga lumbung nikel global yang berkontribusi besar terhadap kemajuan teknologi dunia, terutama industri kendaraan listrik dan energi hijau.
Pertumbuhan Ekonomi yang Melampaui Batas
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Maluku Utara mencatat, pada triwulan II tahun 2025, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara mencapai 32,09 persen, tertinggi di Indonesia bahkan melampaui banyak negara di dunia. Angka fantastis ini didorong terutama oleh sektor industri pengolahan (40,11 persen) dan pertambangan (20,79 persen).
Sementara itu, sektor lain seperti pertanian (10,08 persen), perdagangan (8,74 persen), dan administrasi pemerintahan (7,20 persen) turut menopang struktur ekonomi daerah ini. Pertumbuhan yang luar biasa ini membuktikan bahwa Maluku Utara bukan lagi daerah tertinggal, melainkan motor ekonomi baru Indonesia bagian timur.
Lebih dari itu, data tahun 2023 menunjukkan hilirisasi investasi mencapai Rp 1.418 triliun, dengan kontribusi sektor mineral mencapai Rp 216 triliun dan sebagian besar berasal dari nikel sebesar Rp 136 triliun.
Kaya Sumber Daya, Minim Keadilan
Namun di balik angka-angka gemilang itu, tersimpan paradoks besar. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum sepenuhnya berbanding lurus dengan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Bagaimana mungkin provinsi yang menjadi penopang fiskal nasional masih menghadapi keterbatasan infrastruktur dasar, layanan kesehatan, pendidikan, hingga akses transportasi antarwilayah? Bukankah sudah saatnya Maluku Utara mendapat pengakuan lebih dari sekadar penyumbang devisa negara?
Inilah saat yang tepat bagi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk merubah paradigma politik pembangunan. Maluku Utara layak dipertimbangkan sebagai Daerah Istimewa, bukan karena romantisme sejarah, tetapi karena kontribusi strategisnya bagi perekonomian nasional dan identitas kebangsaan.
Warisan Sejarah dan Legitimasi Budaya
Secara historis, Maluku Utara bukanlah wilayah tanpa akar. Empat kesultanan besar pernah berjaya di tanah ini yaitu Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Dari keempatnya, lahir peradaban maritim yang mempengaruhi politik dan ekonomi kawasan Nusantara.
Sosok Sultan Babullah, misalnya, dikenal sebagai penguasa besar yang berhasil mengusir Portugis dari Ternate dan mempersatukan wilayah kekuasaan yang luas dari Maluku hingga sebagian Sulawesi dan Mindanao. Ia bahkan dijuluki “Penguasa 72 Pulau” karena kebesaran wilayahnya.
Warisan sejarah ini menegaskan bahwa Maluku Utara memiliki basis peradaban dan legitimasi budaya yang kuat untuk menjadi daerah istimewa, sejajar dengan Yogyakarta atau Aceh yang diakui karena kekhasan sejarah dan kontribusinya terhadap Republik.
Seruan untuk Pemerintah
Maluku Utara bukan hanya daerah penghasil nikel tapi juga penjaga kedaulatan ekonomi bangsa di timur Indonesia. Jika pertumbuhan ekonomi terus dibiarkan tanpa pemerataan pembangunan, maka akan muncul ketimpangan baru (daerah kaya sumber daya, tetapi miskin kesejahteraan).
Pemerintah Pusat perlu melihat Maluku Utara bukan sekadar sebagai wilayah eksploitasi industri, tetapi mitra strategis dalam membangun masa depan Indonesia emas 2045.
Sudah waktunya keistimewaan Maluku Utara diwujudkan dalam kebijakan nyata. Baik dalam bentuk otonomi fiskal, perlindungan lingkungan, maupun penghormatan terhadap identitas sejarah dan budaya lokal. Maluku Utara telah memberi banyak untuk Republik ini. Kini saatnya Republik membalasnya dengan keadilan.

