Sofifi: Saat Aspirasi Berujung Provokasi
Oleh: Muhammad Rizal
Pemerhati Sosial Politik
Rabu Tanggal 23 Juli 2025 akan dikenang sebagai salah satu hari tergelap dalam perjalanan demokrasi lokal di Maluku Utara, khususnya di Sofifi dan daratan Oba.
Hari itu, sebuah aksi unjuk rasa yang digelar oleh massa dari Presidium Rakyat Tidore berubah dari yang diklaim sebagai “aksi damai” menjadi tragedi sosial yang melukai bukan hanya fisik, tetapi juga tatanan demokrasi dan kepercayaan antar warga.
Isu utama aksi itu adalah penolakan terhadap pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Sofifi, wacana yang sebenarnya telah mengemuka sejak lebih dari satu dekade lalu. Namun, yang menjadi sorotan bukan semata kontennya, melainkan bagaimana isu ini dieksploitasi oleh kelompok tertentu dengan cara-cara yang tidak hanya jauh dari prinsip demokrasi, tetapi juga mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat.
Rumah Kepala Desa Balbar, Amir Abdullah, diserang oleh massa aksi. Saling lempar batu terjadi antara dua kubu massa yang berbeda pandangan, satu di luar pagar dan satu di dalam pagar Kantor Gubernur Maluku Utara.
Kita sebagai masyarakat sipil harus bersuara. Harus bicara lantang, bahwa apapun alasannya, kekerasan tidak pernah sah dijadikan alat perjuangan aspirasi. Tidak di mana pun. Apalagi dalam negara demokrasi yang menjunjung supremasi hukum dan musyawarah mufakat.
Antara Aspirasi dan Provokasi
Saya tidak ingin menafikan bahwa penolakan terhadap DOB Sofifi adalah bentuk ekspresi yang sah. Sebagian masyarakat dari wilayah Kota Tidore Kepulauan memiliki alasan tersendiri, baik secara historis, politis, maupun budaya. Mereka berargumen bahwa pemekaran ini bisa memisahkan Sofifi dari akar identitas historis dan melemahkan posisi mereka secara politik dan administratif.
Namun argumen, betapa pun kuat dan logisnya, tidak bisa dibenarkan bila disampaikan lewat cara-cara yang mengganggu ketertiban umum dan merusak keamanan warga lain. Provokasi massa, serangan terhadap rumah pejabat desa, hingga bentrokan fisik antar warga hanya menunjukkan satu hal bahwa segelintir pihak telah menggantikan ruang dialog dengan cara kekerasan. Ini bukan lagi soal aspirasi. Ini soal sabotase terhadap demokrasi.
Yang perlu dipahami bersama adalah bahwa DOB Sofifi bukan proyek dadakan. Sejak awal 2010-an, usulan pemekaran ini telah masuk dalam daftar rekomendasi Kementerian Dalam Negeri. Bahkan sudah dibentuk tim kajian akademik dan administratif yang menyimpulkan bahwa Sofifi secara geografis, administratif, dan potensi fiskal memenuhi syarat menjadi Ibukota Provinsi Maluku Utara.
Dalam beberapa tahun terakhir, tuntutan pemekaran justru menguat dari masyarakat daratan Oba sendiri, yang merasa “terjebak” dalam status sebagai ibu kota provinsi tanpa status administratif yang jelas.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa sebagian besar masyarakat Oba mendukung DOB ini karena mereka melihatnya sebagai jalan keluar dari keterpinggiran. Inilah realitas yang seharusnya dihormati, bukan dilawan dengan kekerasan.
Ketika Warga Balbar Jadi Korban
Yang menyayat hati adalah tindakan massa yang menyerang rumah Kepala Desa Balbar, Kecamatan Oba Utara, Kota Tidore Kepulauan Amir Abdullah. Rumahnya bukan simbol kekuasaan, bukan gedung negara, bukan pusat pemerintahan melainkan tempat tinggal seorang warga yang juga tokoh masyarakat lokal. Serangan terhadap rumah beliau bukan hanya ancaman fisik, tetapi pesan simbolik bahwa siapa pun yang tidak sepemahaman, bisa jadi target.
Penyerangan ini adalah tindakan pelenggaran hukum yang serius. Pertanyaannya sekarang, di mana negara? Di mana aparat? Di mana proses hukum?
Sudah saatnya kita, sebagai warga negara dan sebagai komunitas sipil, menuntut pertanggungjawaban atas insiden ini. Tidak cukup hanya dengan imbauan damai. Tidak cukup dengan sekadar “menyesalkan kejadian”. Pelaku lapangan harus ditangkap dan diadili. Otak provokasi mereka yang memobilisasi massa, menyulut kebencian, menyebar disinformasi harus diperiksa dan diproses sesuai hukum yang berlaku.
Kalau negara membiarkan ini, maka kita memberi lampu hijau bagi kekerasan lain yang lebih besar di masa depan. Demokrasi akan jadi boneka yang bisa digerakkan siapa saja, asal punya massa.
Demokrasi Tidak Boleh Tunduk pada Kekerasan Jalanan
Demokrasi bukan hanya soal pemilihan atau hak berpendapat tapi sistem nilai yang menjunjung akal sehat, etika publik, dan penghormatan terhadap hukum. Ketika ada pihak yang merasa pendapatnya harus disampaikan dengan batu, ancaman, dan kekerasan, maka mereka sedang mencabik-cabik nilai utama demokrasi itu sendiri.
Sofifi bukan arena konflik kepentingan antar kelompok, bukan pula panggung adu gengsi dua kelompok politik lokal. Sofifi adalah milik bersama rakyat Maluku Utara. Dan setiap proses yang menyangkut masa depan wilayah ini harus dilandasi oleh dialog, kajian akademik, dan kesediaan untuk mendengar semua pihak.
Kita semua boleh pro, boleh kontra terhadap DOB Sofifi. Tapi satu hal yang tidak bisa dinegosiasikan yakni tidak boleh ada ruang bagi kekerasan dalam proses ini. Sekali kita membiarkan kekerasan memenangkan arena demokrasi, maka kita sedang menciptakan bom waktu sosial politik yang bisa meledak kapan saja.
Pemerintah pusat, khususnya Kementerian Dalam Negeri, pun harus mempercepat kepastian hukum soal status Sofifi. Ketidakjelasan inilah yang menjadi akar tarik-menarik. Entah itu disahkan sebagai DOB atau diperkuat sebagai kawasan khusus di bawah Kota Tidore, keputusan final harus segera diambil berdasarkan evaluasi objektif, bukan tekanan massa.
Mari Kita Pilih Jalan Waras
Kali ini, warga daratan Oba mengalami keresahan atas kekerasan yang terjadi. Namun jalan melawan kekerasan bukan dengan kekerasan yang baru, melainkan dengan mendesak negara menegakkan keadilan.
Pemerintah daerah, DPRD, dan aparat hukum harus bergerak cepat dan tegas. Proses hukum terhadap pelaku kekerasan dan provokasi tidak boleh ditunda. Forum musyawarah harus segera dibuka. Dan semua pihak, pro maupun kontra harus duduk bersama dalam kerangka dialog yang jujur dan inklusif.
Sofifi tidak boleh terus berkonflik karena ambisi politik segelintir orang. Demokrasi harus kembali ke jalurnya dan kita semua punya tanggung jawab yang sama untuk menjaganya.(*)
Tinggalkan Balasan