radartimur.id

Dari Informasi ke Transformasi

Rabu, 20 Agustus 2025

Canga: Warisan Laut Halmahera dan Tantangan Merdeka Hari Ini

Oleh: Muhammad Rizal

Pegiat Sosial

Empat abad lalu, gelombang laut Halmahera menjadi saksi bagaimana perahu kora-kora dari pesisir pantai Pulau Halmahera

(Tobelo, Galela, Loloda, hingga Morotai), membelah kesunyian laut dan menembus badai. Perahu panjang, ramping, dan gesit itu meluncur cepat, dayung-dayungnya bergerak serempak seperti satu tubuh.

Perahu-perahu ini membawa puluhan prajurit bersenjata tombak, panah, hingga senapan rampasan. Mereka adalah bagian dari Canga persaudaraan maritim yang lahir dari sumpah setia antar soa (kelompok marga) untuk saling menjaga wilayah, laut, dan kehormatan.

Bagi masyarakat di bagian utara Pulau Halmahera, Canga bukan sekadar kelompok bersenjata. Tetapi institusi sosial yang memadukan kekerabatan, musyawarah, dan pertahanan. Canga lahir dari keyakinan bahwa hidup di pulau-pulau kecil hanya mungkin bertahan jika setiap tangan, dayung dan mata berjaga bersama.

Catatan awal abad ke-17 dari arsip Belanda menggambarkan mereka sebagai “pelayar tangguh yang sulit dikendalikan bahkan oleh sultan”. Namun, dalam ingatan lokal, Canga justru dikenang sebagai pelindung laut, penentu nasib kampung dan simbol kebebasan yang tidak tunduk buta pada kekuasaan manapun.

Dari Ladang ke Laut Lepas

Akar Canga tumbuh di darat, jauh sebelum layar pertama VOC muncul di Halmahera. Dalam bahasa lokal, canga berarti “bersatu untuk bertahan”. Soa-soa bertetangga membentuk persekutuan, berbagi hasil panen, saling membantu membangun rumah atau bersama-sama mengusir ancaman.

Penelitian antropologi menyebut sistem ini sudah ada ratusan tahun sebelum kesultanan Islam menanamkan pengaruhnya di Halmahera. Tidak ada raja absolut; kekuasaan dijalankan kolektif oleh tetua adat. Sistem ini memungkinkan keputusan diambil cepat, tanpa menunggu instruksi dari pusat kekuasaan.

Perubahan besar datang ketika perdagangan rempah meledak di abad ke-15. Pala dan cengkih menjadi darah ekonomi dunia. Tobelo, Galela dan Loloda, yang berada di jalur strategis utara Halmahera, otomatis menjadi simpul pelayaran. Persekutuan Canga pun bertransformasi dari pertanian subsistem menjadi kekuatan maritim yang mengawal, menguasai, sekaligus memanfaatkan jalur laut.

Republik Laut di Tengah Dua Kesultanan

Keunikan Canga terletak pada otonominya. Mereka bukan pasukan resmi Kesultanan Ternate atau Tidore, tetapi kerap bekerja sama dengan keduanya. Fleksibilitas ini membuat posisi mereka rumit, kadang menjadi sekutu setia, kadang lawan yang merepotkan.

Kapitan Pilatu adalah tokoh legendaris yang sering muncul di arsip VOC. Di akhir abad ke-18, memimpin serangan Canga hingga ke Sulawesi dan Pulau Bawean di Laut Jawa, sebelah utara Kota Gresik. VOC mencatat kora-kora Canga sebagai “perahu cepat, bersenjata, dan sulit ditandingi di perairan sempit”. Masing-masing perahu membawa 40–60 prajurit, lengkap dengan perisai rotan, tombak dan senapan.

Upaya VOC menaklukkan mereka berulang kali gagal. Medan perairan Halmahera yang rumit, pulau-pulau kecil sebagai pangkalan, dan intelijen lokal membuat Canga hampir mustahil dilumpuhkan. Baru pada akhir abad ke-19, ketika kapal uap dan senjata modern hadir, kekuatan maritim mereka benar-benar terdesak.

Jejak Perang Canga

Peran para pelaut dan pejuang laut yang kelak dikenal dengan sebutan Canga tidak kecil dalam sejarah militer Kesultanan di Maluku Utara.

Ketika Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis pada 1570, putranya, Sultan Baabullah, memimpin perlawanan besar-besaran. Armada perahu kora-kora dari Tobelo, Galela, Morotai dan Loloda yang di kemudian hari disebut Canga turut mengurung Benteng Kastela. Mereka menguasai jalur laut, memutus suplai makanan, dan menjaga pengepungan selama hampir lima tahun, hingga Portugis menyerah dan meninggalkan Ternate pada 1575.

Sesudah Portugis terusir, Spanyol dari Filipina datang membantu sekutu lamanya, Kesultanan Tidore, melawan Ternate. Pada masa ini, kelompok pejuang laut Halmahera terbagi. Sebagian bersekutu dengan Tidore, sebagian lainnya mendukung Ternate. Walaupun catatan Eropa menyebut mereka berdasarkan asal daerah (orang Tobelo, orang Galela dll), taktik tempur mereka tetap sama yaitu serangan cepat di laut dan penguasaan rute perairan terpencil.

Ketika VOC mulai memonopoli perdagangan dan memperluas kontrolnya di Maluku Utara, para pejuang laut ini kembali terlibat dalam bentrokan. Mereka menyerang pos-pos Belanda di Halmahera dan Morotai, lalu menghilang di jalur laut yang hanya mereka kenal. Serangan seperti ini tidak berlangsung terus-menerus sepanjang abad, tetapi muncul pada saat hubungan Kesultanan Ternate dan VOC memburuk atau ketika monopoli VOC semakin menekan ekonomi pesisir.

Meskipun istilah Canga baru menguat di ingatan kolektif masyarakat Halmahera pada abad-abad berikutnya, semangat dan taktik mereka telah mewarnai sejarah militer Maluku Utara sejak abad ke-16 dari mengusir Portugis, melewati era Spanyol, hingga menantang VOC.

Canga dan Kemerdekaan

Memasuki abad ke-20, kekuatan maritim Canga dengan jaringan armada kora-kora dari Tobelo, Galela, Loloda, hingga Morotai, memudar akibat konsolidasi kekuasaan kolonial Belanda. Penempatan pos militer di Tobelo, Galela dan Morotai, membatasi ruang gerak tradisi ekspedisi laut. Kapal uap dan jalur distribusi resmi menggantikan mobilitas perahu tradisional. Namun, istilah Canga tidak lenyap. Di lisan masyarakat Tobelo–Galela, tetap menjadi simbol persaudaraan dan solidaritas lintas-soa.

Saat proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai Agresi Militer Belanda II (1948–1949), Maluku Utara menjadi salah satu jalur strategis bagi gerakan perlawanan di Indonesia Timur. Di Halmahera, nilai-nilai Canga kembali menemukan panggungnya bukan sebagai armada penyerang, tetapi sebagai kekuatan sosial yang menopang gerilya rakyat.

Di desa-desa pesisir Tobelo, Galela, dan Morotai, kelompok berbasis kekerabatan Canga menjadi pelindung warga sipil dari patroli militer Belanda. Sistem penjagaan malam (jaga kampung) dijalankan bergiliran, mengadopsi struktur lama Canga yang berbasis komando soa.

Nilai gotong royong Canga memfasilitasi pembangunan jalur komunikasi antara basis perjuangan di Morotai (yang saat itu penting secara strategis setelah menjadi pangkalan Sekutu pada 1944–45) dengan pejuang di Halmahera daratan. Perahu layar kecil digunakan untuk menghindari deteksi patroli.

Canga sebagai Memori Kolektif

Meski pasca pengakuan kedaulatan Indonesia, nama dan peran Canga tidak lagi terdengar dalam lanskap militer Maluku Utara. Namun, jejaknya tidak pernah benar-benar hilang. Canga justru bertransformasi menjadi bagian dari memori kolektif masyarakat sebagai sebuah ingatan bersama yang diwariskan lintas generasi melalui kisah, simbol, dan praktik kehidupan sehari-hari.

Di masa kolonial dan revolusi kemerdekaan, Canga dikenal sebagai satuan atau jaringan maritim yang berperan strategis mengangkut logistik, melindungi jalur laut, dan menjadi garda terdepan dalam mobilisasi massa. Pasca itu kekuatan tempur Canga menjadi kekuatan sosial.

Semangat “satu perahu, satu tujuan” yang menjadi filosofi utamanya tetap hidup, meski wujudnya berubah. Dalam kehidupan masyarakat nilai itu hadir dalam berbagai kegiatan upacara adat yang melibatkan seluruh warga tanpa memandang garis marga, kerja-kerja secara gotong royong, hingga gerakan spontan membantu sesama saat bencana melanda. Semua itu berakar pada keyakinan bahwa keselamatan, kesejahteraan, dan martabat bersama hanya dapat dicapai jika semua orang bergerak serentak, seperti awak perahu yang mengayuh ke arah yang sama.

Keberlangsungan nilai Canga pasca kemerdekaan merupakan contoh transisi identitas kolektif. Dari sebuah kekuatan maritim yang fokus pada pertahanan wilayah, Canga beradaptasi menjadi kekuatan sosial dan kultural yang menjaga kemandirian komunitas.

Tantangan Baru di Laut yang Sama

Hari ini, Maluku Utara tidak lagi diserbu kapal perang Belanda. Ancaman datang dalam bentuk lain yaitu pemodal besar yang menguasai tanah dan laut. Lahan pertanian dan hutan yang sebagai dulunya sebagai sumber pangan dan obat-obatan kini berubah menjadi konsesi tambang.

Data Dinas Lingkungan Hidup Maluku Utara (2024) menunjukkan, lebih dari 300 ribu hektare lahan telah menjadi konsesi tambang seperti nikel, emas dan pasir besi. Sungai-sungai tercemar limbah, kampung kehilangan lahan pangan dan banyak warga hanya menjadi buruh kasar di tanah leluhur.

Di tengah situasi ini, Canga kembali relevan, bukan sebagai nostalgia romantis, tapi sebagai strategi bertahan hidup. Canga mengajarkan bahwa kedaulatan tidak datang sebagai hadiah, melainkan dari keberanian bersatu. Jika di masa lalu “kapal” mereka adalah kora-kora, kini bentuknya bisa berupa, jaringan komunitas pesisir yang mengawasi aktivitas tambang dan laut, forum warga desa yang menentukan arah pembangunan serta gerakan mahasiswa dan pemuda yang mengawal hak perimbangan hasil tambang.

Posisi Maluku Utara juga strategis karena berbatasan langsung dengan Filipina, berada di jalur pelayaran internasional dan menjadi pemasok nikel penting untuk industri baterai global. Potensi ini semestinya menjadi alat tawar dalam politik nasional, sehingga pembangunannya seimbang dengan kontribusi pendapatan dari sumber pertambangan. Bukan sekadar alasan untuk terus dieksploitasi.

Ombak yang Belum Padam

Gelombang Canga di abad ke-21 tidak akan datang dari dentuman genderang perang, melainkan dari riuh suara warga yang menuntut perimbangan hasil tambang, perlindungan lingkungan, dan penguatan ekonomi lokal. Semangat Canga harus lahir dari desa-desa pesisir, kampung-kampung di pedalaman Halmahera, hingga ruang-ruang diskusi mahasiswa.

Sejarah telah menunjukkan bahwa Maluku Utara pernah berdiri gagah di hadapan kekuatan global. Semangat Canga juga sebagai pengingat bahwa merdeka, bukan sekedar status administratif tapi berimbangan pembangunan dan kesejahteraan.

Tugas generasi kini adalah memastikan gelombang itu tidak padam agar perahu kora-kora modern kita tetap melaju, mengarungi samudra abad ke-21 menuju kesejahteraan di bawah naungan NKRI. Dirgahayu RI ke-80. Merdeka 💪

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Belum ada komentar disini
Jadilah yang pertama berkomentar disini