Prasasti Luka di Tanah Para Raja-Raja
Asterlita Tirsa Raha
(Mahasiswa Prodi Kajian Gender Universitas Indonesia/Redaktur Eksekutif RadarTimur.id)
Tanah itu telah dijual oleh para raja-raja tetapi tak perlu gusar kita akan merayakan kepemimpinan baru yang bukan laki-laki di atas tanah yang setiap jengkalnya memiliki konsesi. Perayaan ini akan saya mulai dengan meneguk keraguan seraya menguji apakah pemimpin yang bukan laki-laki ini kokoh mengasuh orang-orang di atas tanah itu dengan kebaikan bersama ? kemudian dapatkah pemimpin yang bukan laki-laki ini mengambil benang-benang tradisi, mencampurnya dengan benang-benang modernitas, dan menciptakan tanah-tanah penuh konsesi ini menjadi kepunyaan bersama ? atau jangan-jangan akan lebih kejam dan tanpa malu-malu menjadi tikar yang mengalasi kaki-kaki raksasa membangun prasasti luka ?
Di balik kerlap-kerlip janji investasi, tambang-tambang itu berdiri angkuh, seperti raksasa yang lupa bahwa pijakannya adalah rapuh. Keangkuhan itu membongkar tanah Halmahera tanpa jeda, meruntuhkan pepohonan, mengotori laut, dan meninggalkan luka yang tak kasat mata di hati orang-orang yang mencintai Halmahera dengan utuh. Namun, di sela-sela debu dan logam yang mengangkasa, tulisan ini hendak memanggil kita mengangkat suara. Suara itu muncul dari hening, tetapi cukup kuat untuk membuat siapapun yang mendengarnya bertanya: Apakah tanah yang direbut ini membawa kemakmuran, ataukah hanya menjadi kutukan sumber daya alam yang ditinggalkan waktu?
Dalam perspektif ethics of care, keputusan untuk mengeksploitasi tanah Halmahera demi angka-angka dalam grafik ekonomi adalah ironi yang tak termaafkan. Carol Gilligan, dengan lembut, akan bertanya: Apakah pertumbuhan yang memakan ruang hidup dan penghidupan ini layak disebut kemajuan? Perempuan di beberapa sudut Halmahera masih mengasuh tradisi tua yang lebih bernyawa karena menjanjikan kehidupan. Mereka menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak sekadar barisan proyek rehabilitasi yang tertera di dokumen tanpa keberpihakan, melainkan kembalinya keseimbangan yang hanya dapat dirasakan oleh mereka yang merawat tanah dan laut dengan rendah hati, bukan sekadar pengenyang egoisme.
Perempuan di Maluku Utara adalah penyangga kehidupan yang diam-diam menjaga kepulauan ini, mereka berdiri di ambang masa lalu dan masa depan. Kisah ini bukan sekadar cerita yang tertulis di buku sejarah; itu adalah suara yang berbisik dari tanah, ombak, dan hutan yang kehilangan warna hijaunya. Jika kau dengar, mungkin kau akan tahu bahwa perempuan di sini adalah tungku abadi yang menjaga nyala kehidupan.
Bayangkan ini: seorang perempuan berdiri di tepi pantai Halmahera. Di depan matanya, laut yang dulu jernih kini berubah kelabu, mengusung cerita pahit dari tambang nikel yang menguras isi bumi. Perempuan itu mungkin adalah seorang ibu, mungkin adalah anak dari ibu yang pernah berjuang, dan kini ia menghadapi kekuatan yang sama tapi dengan bentuk yang berbeda. Ia tahu, tanah ini punya cerita yang lebih tua dari para penambang yang datang dengan janji-janji kosong.
Tradisi dan Kenangan yang Menghidupkan
Di tengah narasi keberlanjutan yang seringkali dipahami secara modern dan kapitalistik, kita seharusnya mendengar narasi yang lebih mendalam dan menyeluruh. Pemulihan ekologis di Halmahera, misalnya, tidak bisa sekadar dilakukan melalui kebijakan top-down yang mengejar target pembangunan hijau atau investasi hijau. Pemulihan ini membutuhkan keterhubungan dengan pengetahuan tua perempuan—kearifan yang telah teruji selama berabad-abad dalam menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Pengetahuan perempuan Halmahera tentang siklus alam, cara menjaga hutan dan laut, serta ritual-ritual adat yang mengakar pada penghormatan terhadap ekosistem adalah fondasi utama yang harus dihidupkan kembali. Tradisi ini memandang alam bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga keberlanjutannya demi generasi mendatang. Narasi keberlanjutan modern yang hanya berfokus pada angka dan indikator ekonomi seringkali mengabaikan nilai-nilai ini, yang sebenarnya menjadi kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih berkelanjutan.
Saya mengandaikan tanah adalah rahim yang menyemai kehidupan. Laut adalah denyut yang mengairi keberlanjutan. Kita lahir dari hubungan ini, dari harmoni yang kini mulai pecah. Dalam tradisi kita, perempuan tidak hanya merawat rumah, tetapi juga menjaga denyut tanah itu. Ada perempuan seperti Boki Raja di abad ke-16, yang namanya masih terbisik di lorong-lorong sejarah. Dia adalah penguasa, dia adalah penjaga, dan dia adalah jembatan di tengah gelombang kekuasaan Portugis. Boki Raja menjadi simbol bagaimana perempuan digunakan sebagai “jembatan” dalam membangun aliansi kekuasaan, seperti melalui pernikahannya dengan Sultan Bayanullah untuk menyatukan dua kekuatan besar, Ternate dan Tidore. Namun, aliansi ini akhirnya gagal karena ambisi politik dari pihak-pihak lain.
Namun, tradisi itu, seiring waktu, kadang dikaburkan oleh gemuruh dunia modern. Pembangunan di Maluku Utara harus memungutnya dari pengetahuan lokal perempuan, untuk menyesuaikan diri. Pengetahuan itu penjaga tanah, tetapi juga adalah ramuan adaptasi di tengah dunia yang berubah. Pengetahuan itu penolong yang akan bertarung dengan keberanian.
Gaya Kepemimpinan yang Lahir dari Luka
Carol Gilligan, dalam teorinya tentang ethics of care, menempatkan perhatian moral pada hubungan dan tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama. Dalam pendekatan ini, kepedulian menjadi pusat keputusan moral, berbeda dengan pandangan berbasis keadilan yang sering kali berfokus pada aturan dan prinsip abstrak. Gilligan memberikan perhatian khusus pada pentingnya memahami konteks sosial dan pengalaman individu dalam membentuk pilihan moral.
Dalam konteks Maluku Utara, saya menggunakan ini untuk mengkritik pendekatan pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan nilai-nilai keberlanjutan dan kesejahteraan komunitas. Eksploitasi tambang nikel yang fokus pada keuntungan jangka pendek sering kali mengabaikan kerusakan jangka panjang yang ditimbulkan terhadap ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal. Pendekatan berbasis ethics of care menawarkan perspektif alternatif, di mana pelestarian lingkungan dianggap sebagai tanggung jawab moral untuk melindungi hubungan manusia dengan alam dan menjaga warisan bagi generasi mendatang.
Gilligan menyoroti bahwa keputusan untuk mengorbankan lingkungan demi pertumbuhan ekonomi yang rapuh bukan hanya tindakan tidak etis, tetapi juga kegagalan dalam memahami tanggung jawab sosial yang lebih besar. Perempuan Maluku Utara, harus memimpin gerakan pelestarian lingkungan, karena dalam pengetahuan lokalnya nyawa ethics of care dapat memeluk kehidupan nyata. Dengan memprioritaskan keberlanjutan ekologis sebagai inti dari tindakan mereka, mereka menantang paradigma ekonomi ekstraktif yang merusak.
Lebih jauh lagi, ethics of care memberikan kritik mendasar terhadap sistem yang memandang alam semesta sebagai komoditas. Dalam pandangan ini, alam tidak hanya menjadi sumber daya ekonomi tetapi juga bagian integral dari kehidupan manusia yang memerlukan perhatian dan perlindungan. Perempuan Maluku Utara harus menunjukkan bahwa keputusan moral harus memperhitungkan hubungan yang kompleks antara manusia, lingkungan, dan masa depan yang berkelanjutan.
Carol Gilligan, dalam teorinya tentang ethics of care, menjelaskan bahwa moralitas perempuan sering kali berpusat pada hubungan, empati, dan tanggung jawab untuk menjaga kesejahteraan bersama. Dalam konteks perempuan Maluku Utara, teori ini relevan untuk mengkritik bagaimana tambang-tambang nikel yang eksploitatif menghancurkan ekosistem lokal serta merusak hubungan sosial dan budaya yang telah terjalin selama berabad-abad. Gilligan menekankan bahwa keputusan untuk mengeksploitasi sumber daya alam tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan bukan hanya tindakan yang tidak etis, tetapi juga mengabaikan tanggung jawab moral terhadap komunitas yang paling terdampak. Perempuan Maluku Utara, yang memprioritaskan pelestarian lingkungan sebagai warisan untuk anak cucu mereka, adalah representasi nyata dari nilai-nilai ethics of care yang berbasis pada pengalaman langsung dan keberlanjutan hidup.
Di banyak tempat, kepemimpinan perempuan sering kali dicap sebagai lembut, penuh empati, dan berpusat pada komunitas—sesuatu yang kita sebut sebagai ethics of care. Mereka memimpin dengan cara mereka sendiri—bukan mengikuti pola laki-laki, tetapi menciptakan pola baru yang hanya mereka pahami.
Akhirnya, pemimpin baru yang bukan laki-laki ini akan kita uji apakah ia benar-benar memiliki daya cipta atau hanya saja dia hanya berjenis kelamin perempuan tanpa kepedulian. Pemerintah Maluku Utara harus menjadikan ethics of care sebagai landasan utama dalam pembangunan wilayah mereka. Dalam pendekatan ini, pembangunan tidak sekadar mengejar pertumbuhan ekonomi yang fana, tetapi menempatkan keberlanjutan dan kesejahteraan sebagai tujuan utama. Dengan ethics of care, pembangunan di Maluku Utara harus berpusat pada pelestarian lingkungan, penghormatan terhadap tradisi, dan perbaikan kualitas hidup generasi mendatang.
Pendekatan ini akan mengutamakan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, memprioritaskan perbaikan ekosistem yang rusak akibat eksploitasi tambang, dan menciptakan model pembangunan yang inklusif. Pengetahuan lokal, sebagai penjaga komunitas dan pemimpin moral, memiliki potensi untuk mengubah paradigma pembangunan dari yang eksploitatif menjadi yang berbasis keberlanjutan. Dengan demikian, ethics of care bukan hanya teori, tetapi menjadi strategi nyata untuk melawan ketidakadilan ekologi dan sosial yang sering kali terjadi di wilayah ini.
Tinggalkan Balasan